Powered By Blogger

Kamis, 26 Februari 2015

draft 1

Mentari di Kala Hujan

            Seindah pagi disapa sang surya yang masih malu – malu memancarkan sinarnya, nampaknya ia masih enggan bergerak cepat keluar ke peraduan. Sisa – sisa tetesan embun pun rasanya belum ingin beranjak dari hijaunya dedaunan. Desir sejuknya angin
pagi berhembus menemani rerumputan yang bergerak melambai. Awan seputih salju menghiasi cerahnya biru langit yang cantik. Kicauan burung – burung bersahutan seolah tak ingin kalah bersorak menyambut indahnya pagi. Keindahan suasana nyaman seperti inilah yang aku sukai, suasana yang tenteram mendamaikan hati.

            Pagi masih nampak sunyi ketika aku terbangun dari lelapnya tidurku semalam. Terdengar suara yang tak asing di telingaku dari arah dapur. Ya, seperti biasa Bunda sudah sibuk memasak makanan untuk sarapanku, Ayah, dan Kak Bintang. Bunda selalu bangun pagi – pagi buta untuk menyiapkan sarapan, tanpa lelah dan selalu seperti itu bahkan dengan raut wajah yang selalu ceria memberikan semangat kepada kami. Rutinitas tersebut tetap dijalani, meskipun hari ini adalah hari libur. Ayah yang seperti biasanya sedang berolahraga sambil bersiul ceria, selalu membuatku tersenyum saat membuka mata.

“Pagi dunia, hari ini akan cerah sepertinya, cocok untuk mencari inspirasi” gumamku sambil menatap cermin.

            Aku bergegas mandi dan bersiap – siap. Agendaku hari ini adalah mencari inspirasi untuk menambah koleksiku. Aku tak akan menyia – nyiakan suasana yang sangat mendukung di hari libur ini. Dengan bersemangat aku menuju dapur untuk membantu Bunda menyiapkan sarapan.

“Pagi bidadariku tercinta” kataku seraya mengecup pipi kanan Bunda.

“Duh, kamu nih ngagetin Bunda aja. Pagi, peri kecilku. Emm, udah cantik pagi – pagi begini mau kemana?” tanya Bunda setengah heran menatapku.

“Biasa Bun, mau mengembara ke alam yang sangat indah hehehe” ujarku sambil memotong – motong kentang.

“Ya sudah, sekarang kamu bangunin kakakmu saja. Biar Bunda yang nyiapin sarapan, sebentar lagi juga sudah selesai kok” ucap Bunda lembut.

“Siap bos” ujarku dengan posisi hormat bendera.

            Setengah berlari aku menuju kamar kakakku. Aku ketuk pintu kamarnya sambil setengah berteriak memanggil kakakku. Tak ada jawaban, pasti Kak Bintang masih terlelap dan terbuai oleh mimpi – mimpinya. Kuputar handel pintu kamarnya, ternyata tidak dikunci. Aku segera masuk lalu membuka tirai gorden yang masih menutup jendela kamar Kak Bintang. Sinar matahari yang belum terik mulai memasuki kamar Kak Bintang. Mataku menerawang mengelilingi ruangan segi empat ini, sejenak aku pun tersenyum tipis. Kamar Kak Bintang selalu terlihat rapi, tidak ada benda – benda yang berserakan. Poster – poster tim sepak bola Liverpool pun tertempel sangat rapi di dinding kamarnya. Kak Bintang sangat merawat kamarnya sehingga selalu tampak nyaman.

            Tiba – tiba mataku menangkap suatu benda unik di atas meja belajar Kak Bintang. Sebuah kotak kecil berwarna merah hati berhias pita merah muda membuatku penasaran. Aku ingin tahu apa yang ada di dalam kotak itu, tapi aku segan untuk membukanya. Ah, kuputuskan nanti saja aku tanya pada Kak Bintang tentang kotak itu.

“Kak, bangun. Udah siang tuh, masa kalah sama ayam” kataku seraya mengguncang pelan bahu kakakku.

“Emm, iya ntar dulu” sanggahnya.

“Eh, enggak bisa. Ayo cepet bangun, mentang – mentang hari libur nih nggak mau bangun pagi. Bangun Kak Bintang, bunda udah nyiapin sarapan tuh buat kita semua. Kalau kakak malas bangun pagi, nanti nggak dapet pacar loh” aku terus berusaha membangunkan kakakku.
“Aduh, iya iya aku bangun. Kamu nih pagi – pagi udah gangguin kakak aja. Lagipula, bangun pagi bukan parameter untuk bisa punya pacar” gerutunya sambil mencibir.

“Pagi, kakakku tercinta, pagi yang indah hari ini bukan”.

“Pagi, adikku yang ngegemesin. Pagi, Mentari yang cantik, yang selalu dirindukan semua orang” katanya seraya mencubit lembut kedua pipiku.

            Namaku Mentari, seperti layaknya batara surya yang selalu menyinari dunia ini, aku pun ingin selalu setia memberikan manfaat untuk orang – orang di sekitarku. Mentari yang selalu dirindukan semua orang setiap pagi datang, yang tak pernah lelah memancarkan sinarnya. Sinar yang walaupun terkadang amat terik dan menyilaukan untuk dilihat, tetapi tak bosan menemani aktivitas jutaan insan.
           
“Kak, nanti ikut aku ya. Kita jalan – jalan ke taman, cari inspirasi kak” ajakku.

“Boleh, kakak siap mengantar tuan puteri kemana saja” canda Kak Bintang sambil mengusap kepalaku.

Kupeluk kakakku, “Makasih ya kak, kakak emang paling baik deh”.

            Kuperkenalkan salah satu sosok pria yang sangat berarti di hidupku, dia adalah kakakku, Bintang Ardy Pratama. Dia lebih akrab disapa dengan nama Bintang, baik di rumah, di kampus, maupun di lingkungan masyarakat. Usia Kak Bintang tak terlampau jauh dengan usiaku, interval usia kami sekitar empat tahun. Kak Bintang orang yang sangat cerdas, supel, dan penyayang. Saat ini Kak Bintang menjalani kuliah semester lima di salah satu perguruan tinggi negeri yang populer di kotaku. Kak Bintang juga merupakan pemain unggulan dan terfavorit di tim futsal kampusnya. Banyak perempuan yang mengaguminya, namun heran sampai detik ini Kak Bintang belum memiliki tambatan hati.

            Terkadang aku berpikir, mengapa kakakku belum juga memiliki pacar. Kak Bintang memiliki wajah yang cukup tampan, dengan kulit berwarna sawo matang. Sejauh yang aku tahu, Kak Bintang juga supel dan memiliki banyak teman. Tak dapat dipungkiri bahwa antrian kaum hawa yang mengagumi dirinya juga sangat bombastis, namun sepertinya kakakku masih belum mau menyerahkan hatinya untuk mengenal makhluk yang bernama cinta. Cinta, sederhana memang untuk didengar dan diucapkan, tetapi kurasa definisinya tak sesederhana namanya. Saat ini bahkan aku masih merasa terlalu dini untuk mengenal cinta.

“Ya udah, kakak mau mandi dulu. Kamu tunggu di meja makan sana, kita sarapan bareng ayah dan bunda dulu sebelum berangkat” ujar Kak Bintang lembut.

“Iya kak, jangan lupa bawa benda keramat yang berharga banget buat kakak, he he he” balasku sambil tertawa.

“Yee, itu benda yang sangat berarti loh. Selalu nemenin kakak baik lagi senang atau lagi sedih” sangkalnya.

“Ya ampun, itu udah kayak pacar aja” aku mencibir.

“Kamu tuh, anak kecil sok tau banget bahas tentang pacar. Pacar atau kekasih itu memiliki rasa cinta yang lebih dari sekedar menjaga suatu benda kesayangan” jelas Kak Bintang hati – hati.

“Cinta itu sebenarnya rasa yang seperti apa sih kak?” tanyaku penasaran.

Kak Bintang menepuk kedua bahuku. Suara yang sangat menenangkan, penuh kesabaran dan kasih sayang, seraya tersenyum kakakku berkata “Suatu saat kamu akan mengerti cinta itu apa”.

            Kak Bintang berlalu dari hadapanku yang masih termangu dan terdiam mencerna semua perkataan kakakku. Cinta, aku masih belum mengerti apa itu cinta. Sekedar sebuah rasa, atau sebuah kondisi yang mengharuskan kita lebih menyempurnakan diri. Ah, tak penting bagiku seperti apa bentuk cinta itu. Yang aku ketahui adalah aku mencintai keluarga kecil yang selalu mendampingiku.

            Aku tersadar dari lamunanku, ketika mendengar suara bunda memanggil namaku dari ruang makan. Aku segera berlari keluar dari kamar Kak Bintang dan menghampiri bunda. Rupanya ayah juga  sudah berada di ruang makan dan siap untuk sarapan bersama. Ayah, sosok yang sangat aku banggakan. Sosok yang tak lagi muda, namun selalu terlihat bersemangat dan selalu memberikan senyuman terbaiknya untuk semua orang. Di bahunya yang kian merapuh, masih terus berjuang untuk tetap kokoh nenopang kehidupan kami. Aku ingin seperti ayah, seikhlas dirinya dalam menghadapi warna dunia.

“Mentari, loh kok malah ngelamun berdiri di situ. Sini duduk, kita sarapan. Kakakmu mana?” ujar bunda membuyarkan lamunanku.

Aku tersenyum, berjalan menuju meja makan dan kemudian duduk di sebelah bunda.

“Kak Bintang masih mandi bun, mungkin sebentar lagi selesai” kataku.

“Kalian mau ke taman hari ini?” tanya ayah membuka perckapan.

“Iya yah, aku dan Kak Bintang mau berpetualang seperti biasa” jawabku bersemangat.

“Ayah sangat bangga karena kedua anak ayah memiliki hobi yang positif, mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat. Tetapi ingat, jangan sampai kelelahan dan mengganggu sekolah ya nak” nasehatnya.

“Pasti yah, aku dan Kak Bintang gak akan buat ayah dan bunda kecewa” ujarku mantap.

            Ayah kembali tersenyum. Ah, teduhnya senyum itu. Terulas sangat indah di wajah ayah sehingga membuatku tak sampai hati bila menghapus senyuman itu. Aku berjanji akan selalu membuat ayah, bunda dan kakakku bahagia. Tak akan aku biarkan setitik pun air mata kepedihan keluar dari keluargaku. Jika memang air mata harus menetes,

Tak sedikit orang yang heran dengan namaku dan kakakku, bahkan sebagian orang mengira bahwa ayahku adalah seorang astronot. Ya, nama kami memang tak lazim karena menggunakan nama benda – benda antariksa. Hal itu terjadi bukan karena ayahku seorang astronot, bukan pula terobsesi ingin pergi menuju bulan.

            Cinta terkadang membuatku ingin terus tetap hidup, namun tak jarang cinta juga yang membuatku ingin mati. Aku tak pernah mengerti maksud dari nyawa cinta dalam kehidupan. Aku pun tak pernah mengetahui jadwal kedatangan dan kepergian cinta. Kini yang aku pahami hanyalah ada perasaan hebat yang menjalar di dalam urat nadiku, mengalir bersama darahku, dan berkecamuk dalam batin serta pikiranku, dan seirama dengan degup jantungku. Rasa inikah yang dikenal dengan nama cinta? Hingga detik ini aku tak pernah bisa mendefinisikan cinta. Bagiku, cinta bukan hanya sekedar rasa, bukan hanya kata ajaib yang bisa dirasakan namun tak dapat dijabarkan. Cinta itu terasa indah, disaat kita memilikinya. Namun, tak selamanya keindahan berpihak pada cinta, karena suatu ketika cinta juga dapat menjadi hal yang paling menakutkan. Dan kini aku sedang dalam ketakutan terhadap cinta. Takut? Ya, takut untuk merasakan kehilangan.


            Selayaknya mentari di kala hujan, aku hanya ingin tetap bersinar tanpa berpikir untuk libur. Aku ingin terus memancarkan cahaya dan kehangatan kepada sekitarku, aku ingin menghabiskan hidupku agar dapat bermanfaat untuk orang lain. 

Tidak ada komentar: