Mentari di Kala Hujan
Seindah
pagi disapa sang surya yang masih malu – malu memancarkan sinarnya, nampaknya ia
masih enggan bergerak cepat keluar ke peraduan. Sisa – sisa tetesan embun pun
rasanya belum ingin beranjak dari hijaunya dedaunan. Desir sejuknya angin
pagi berhembus
menemani rerumputan yang bergerak melambai. Awan seputih salju menghiasi
cerahnya biru langit yang cantik. Kicauan burung – burung bersahutan seolah tak
ingin kalah bersorak menyambut indahnya pagi. Keindahan suasana nyaman seperti inilah
yang aku sukai, suasana yang tenteram mendamaikan hati.
Pagi
masih nampak sunyi ketika aku terbangun dari lelapnya tidurku semalam.
Terdengar suara yang tak asing di telingaku dari arah dapur. Ya, seperti biasa
Bunda sudah sibuk memasak makanan untuk sarapanku, Ayah, dan Kak Bintang. Bunda
selalu bangun pagi – pagi buta untuk menyiapkan sarapan, tanpa lelah dan selalu
seperti itu bahkan dengan raut wajah yang selalu ceria memberikan semangat
kepada kami. Rutinitas tersebut tetap dijalani, meskipun hari ini adalah hari
libur. Ayah yang seperti biasanya sedang berolahraga sambil bersiul ceria,
selalu membuatku tersenyum saat membuka mata.
“Pagi dunia, hari ini akan cerah
sepertinya, cocok untuk mencari inspirasi” gumamku sambil menatap cermin.
Aku
bergegas mandi dan bersiap – siap. Agendaku hari ini adalah mencari inspirasi
untuk menambah koleksiku. Aku tak akan menyia – nyiakan suasana yang sangat
mendukung di hari libur ini. Dengan bersemangat aku menuju dapur untuk membantu
Bunda menyiapkan sarapan.
“Pagi bidadariku tercinta” kataku
seraya mengecup pipi kanan Bunda.
“Duh, kamu nih ngagetin Bunda aja.
Pagi, peri kecilku. Emm, udah cantik pagi – pagi begini mau kemana?” tanya
Bunda setengah heran menatapku.
“Biasa Bun, mau mengembara ke alam
yang sangat indah hehehe” ujarku sambil memotong – motong kentang.
“Ya sudah, sekarang kamu bangunin
kakakmu saja. Biar Bunda yang nyiapin sarapan, sebentar lagi juga sudah selesai
kok” ucap Bunda lembut.
“Siap bos” ujarku dengan posisi
hormat bendera.
Setengah
berlari aku menuju kamar kakakku. Aku ketuk pintu kamarnya sambil setengah
berteriak memanggil kakakku. Tak ada jawaban, pasti Kak Bintang masih terlelap
dan terbuai oleh mimpi – mimpinya. Kuputar handel pintu kamarnya, ternyata
tidak dikunci. Aku segera masuk lalu membuka tirai gorden yang masih menutup
jendela kamar Kak Bintang. Sinar matahari yang belum terik mulai memasuki kamar
Kak Bintang. Mataku menerawang mengelilingi ruangan segi empat ini, sejenak aku
pun tersenyum tipis. Kamar Kak Bintang selalu terlihat rapi, tidak ada benda –
benda yang berserakan. Poster – poster tim sepak bola Liverpool pun tertempel
sangat rapi di dinding kamarnya. Kak Bintang sangat merawat kamarnya sehingga
selalu tampak nyaman.
Tiba
– tiba mataku menangkap suatu benda unik di atas meja belajar Kak Bintang.
Sebuah kotak kecil berwarna merah hati berhias pita merah muda membuatku
penasaran. Aku ingin tahu apa yang ada di dalam kotak itu, tapi aku segan untuk
membukanya. Ah, kuputuskan nanti saja aku tanya pada Kak Bintang tentang kotak
itu.
“Kak, bangun. Udah siang tuh, masa
kalah sama ayam” kataku seraya mengguncang pelan bahu kakakku.
“Emm, iya ntar dulu” sanggahnya.
“Eh, enggak bisa. Ayo cepet bangun,
mentang – mentang hari libur nih nggak mau bangun pagi. Bangun Kak Bintang,
bunda udah nyiapin sarapan tuh buat kita semua. Kalau kakak malas bangun pagi,
nanti nggak dapet pacar loh” aku terus berusaha membangunkan kakakku.
“Aduh, iya iya aku bangun. Kamu nih
pagi – pagi udah gangguin kakak aja. Lagipula, bangun pagi bukan parameter
untuk bisa punya pacar” gerutunya sambil mencibir.
“Pagi, kakakku tercinta, pagi yang
indah hari ini bukan”.
“Pagi, adikku yang ngegemesin. Pagi,
Mentari yang cantik, yang selalu dirindukan semua orang” katanya seraya
mencubit lembut kedua pipiku.
Namaku
Mentari, seperti layaknya batara surya yang selalu menyinari dunia ini, aku pun
ingin selalu setia memberikan manfaat untuk orang – orang di sekitarku. Mentari
yang selalu dirindukan semua orang setiap pagi datang, yang tak pernah lelah
memancarkan sinarnya. Sinar yang walaupun terkadang amat terik dan menyilaukan
untuk dilihat, tetapi tak bosan menemani aktivitas jutaan insan.
“Kak, nanti ikut aku ya. Kita jalan
– jalan ke taman, cari inspirasi kak” ajakku.
“Boleh, kakak siap mengantar tuan
puteri kemana saja” canda Kak Bintang sambil mengusap kepalaku.
Kupeluk kakakku, “Makasih ya kak,
kakak emang paling baik deh”.
Kuperkenalkan
salah satu sosok pria yang sangat berarti di hidupku, dia adalah kakakku,
Bintang Ardy Pratama. Dia lebih akrab disapa dengan nama Bintang, baik di
rumah, di kampus, maupun di lingkungan masyarakat. Usia Kak Bintang tak
terlampau jauh dengan usiaku, interval usia kami sekitar empat tahun. Kak
Bintang orang yang sangat cerdas, supel, dan penyayang. Saat ini Kak Bintang
menjalani kuliah semester lima di salah satu perguruan tinggi negeri yang
populer di kotaku. Kak Bintang juga merupakan pemain unggulan dan terfavorit di
tim futsal kampusnya. Banyak perempuan yang mengaguminya, namun heran sampai
detik ini Kak Bintang belum memiliki tambatan hati.
Terkadang
aku berpikir, mengapa kakakku belum juga memiliki pacar. Kak Bintang memiliki
wajah yang cukup tampan, dengan kulit berwarna sawo matang. Sejauh yang aku
tahu, Kak Bintang juga supel dan memiliki banyak teman. Tak dapat dipungkiri
bahwa antrian kaum hawa yang mengagumi dirinya juga sangat bombastis, namun
sepertinya kakakku masih belum mau menyerahkan hatinya untuk mengenal makhluk
yang bernama cinta. Cinta, sederhana memang untuk didengar dan diucapkan, tetapi
kurasa definisinya tak sesederhana namanya. Saat ini bahkan aku masih merasa
terlalu dini untuk mengenal cinta.
“Ya udah, kakak mau mandi dulu.
Kamu tunggu di meja makan sana, kita sarapan bareng ayah dan bunda dulu sebelum
berangkat” ujar Kak Bintang lembut.
“Iya kak, jangan lupa bawa benda
keramat yang berharga banget buat kakak, he he he” balasku sambil tertawa.
“Yee, itu benda yang sangat berarti
loh. Selalu nemenin kakak baik lagi senang atau lagi sedih” sangkalnya.
“Ya ampun, itu udah kayak pacar
aja” aku mencibir.
“Kamu tuh, anak kecil sok tau
banget bahas tentang pacar. Pacar atau kekasih itu memiliki rasa cinta yang
lebih dari sekedar menjaga suatu benda kesayangan” jelas Kak Bintang hati –
hati.
“Cinta itu sebenarnya rasa yang
seperti apa sih kak?” tanyaku penasaran.
Kak Bintang menepuk kedua bahuku.
Suara yang sangat menenangkan, penuh kesabaran dan kasih sayang, seraya
tersenyum kakakku berkata “Suatu saat kamu akan mengerti cinta itu apa”.
Kak
Bintang berlalu dari hadapanku yang masih termangu dan terdiam mencerna semua
perkataan kakakku. Cinta, aku masih belum mengerti apa itu cinta. Sekedar
sebuah rasa, atau sebuah kondisi yang mengharuskan kita lebih menyempurnakan
diri. Ah, tak penting bagiku seperti apa bentuk cinta itu. Yang aku ketahui
adalah aku mencintai keluarga kecil yang selalu mendampingiku.
Aku
tersadar dari lamunanku, ketika mendengar suara bunda memanggil namaku dari
ruang makan. Aku segera berlari keluar dari kamar Kak Bintang dan menghampiri
bunda. Rupanya ayah juga sudah berada di
ruang makan dan siap untuk sarapan bersama. Ayah, sosok yang sangat aku
banggakan. Sosok yang tak lagi muda, namun selalu terlihat bersemangat dan
selalu memberikan senyuman terbaiknya untuk semua orang. Di bahunya yang kian
merapuh, masih terus berjuang untuk tetap kokoh nenopang kehidupan kami. Aku
ingin seperti ayah, seikhlas dirinya dalam menghadapi warna dunia.
“Mentari, loh kok malah ngelamun
berdiri di situ. Sini duduk, kita sarapan. Kakakmu mana?” ujar bunda
membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum, berjalan menuju meja
makan dan kemudian duduk di sebelah bunda.
“Kak Bintang masih mandi bun,
mungkin sebentar lagi selesai” kataku.
“Kalian mau ke taman hari ini?”
tanya ayah membuka perckapan.
“Iya yah, aku dan Kak Bintang mau
berpetualang seperti biasa” jawabku bersemangat.
“Ayah sangat bangga karena kedua
anak ayah memiliki hobi yang positif, mengisi waktu luang dengan hal yang
bermanfaat. Tetapi ingat, jangan sampai kelelahan dan mengganggu sekolah ya
nak” nasehatnya.
“Pasti yah, aku dan Kak Bintang gak
akan buat ayah dan bunda kecewa” ujarku mantap.
Ayah
kembali tersenyum. Ah, teduhnya senyum itu. Terulas sangat indah di wajah ayah
sehingga membuatku tak sampai hati bila menghapus senyuman itu. Aku berjanji
akan selalu membuat ayah, bunda dan kakakku bahagia. Tak akan aku biarkan
setitik pun air mata kepedihan keluar dari keluargaku. Jika memang air mata
harus menetes,
Tak sedikit orang yang heran dengan
namaku dan kakakku, bahkan sebagian orang mengira bahwa ayahku adalah seorang
astronot. Ya, nama kami memang tak lazim karena menggunakan nama benda – benda
antariksa. Hal itu terjadi bukan karena ayahku seorang astronot, bukan pula
terobsesi ingin pergi menuju bulan.
Cinta
terkadang membuatku ingin terus tetap hidup, namun tak jarang cinta juga yang
membuatku ingin mati. Aku tak pernah mengerti maksud dari nyawa cinta dalam
kehidupan. Aku pun tak pernah mengetahui jadwal kedatangan dan kepergian cinta.
Kini yang aku pahami hanyalah ada perasaan hebat yang menjalar di dalam urat
nadiku, mengalir bersama darahku, dan berkecamuk dalam batin serta pikiranku,
dan seirama dengan degup jantungku. Rasa inikah yang dikenal dengan nama cinta?
Hingga detik ini aku tak pernah bisa mendefinisikan cinta. Bagiku, cinta bukan
hanya sekedar rasa, bukan hanya kata ajaib yang bisa dirasakan namun tak dapat
dijabarkan. Cinta itu terasa indah, disaat kita memilikinya. Namun, tak
selamanya keindahan berpihak pada cinta, karena suatu ketika cinta juga dapat
menjadi hal yang paling menakutkan. Dan kini aku sedang dalam ketakutan
terhadap cinta. Takut? Ya, takut untuk merasakan kehilangan.
Selayaknya
mentari di kala hujan, aku hanya ingin tetap bersinar tanpa berpikir untuk
libur. Aku ingin terus memancarkan cahaya dan kehangatan kepada sekitarku, aku
ingin menghabiskan hidupku agar dapat bermanfaat untuk orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar