Powered By Blogger

Rabu, 29 Juli 2015

Sendu dibalik Belenggu Rindu

Kota industri, selalu dihiasi hiruk pikuk di setiap pusat bahkan sudut – sudutnya. Polusi udara, suara, mungkin sudah tidak terhitung jumlahnya. Namun, taukah kamu, bahwa banyak tempat yang indah di kota ini, bahkan mungkin yang selama ini tak dianggap. Ya, di kota inilah semua tercipta, riak tawa di antara kita. Tangis haru dalam deru. Tentang sahabat, cinta, pertemuan, kebersamaan, dan keberpisahan. Juga tentangku, tentangmu, tentang mereka, tentang kita. Kini, jarak dan waktu sedang mengajarkan kita untuk terbang bebas, pergi mencari jati diri.

Tapi, layaknya kampung halaman, selalu ada alasan untuk kembali ke sini. Melepas tumpukan rindu yang dipendam dan tertahan. Sejauh itukah kita pergi? Mungkin, ditambah kesibukan rutinitas yang seolah membuat jarak semakin terpisah sangat jauh. Ada beberapa alasan yang membuatku tetap tinggal, salah satunya mungkin kamu. Ya, kamu yang belum sempat kutemui secara langsung namun mampu mencuri singgassana rasa kagum di hatiku. Kota Tangerang, jadi saksi bisu kali pertama aku mengenalmu. Meski saat ini kita belum diberi kesempatan untuk bersua. Tak apa, aku tetap senang mengingat peristiwa itu.
Pukul 22:05, Kota Tangerang belum mati. Hati para pemuda masih hidup, menyulap malam menjadi kerlap kerlip indah bagai surga bagi mereka. Keramaian masih terlihat jelas karena lampu kota tak pernah lelah menerangi setiap petak gelap. Kendaraan masih berserakan di sepanjang jalan; ada puluhan angkutan kota yang tak henti berjalan pada rute-nya; mobil pribadi yang melintas cepat menuju tujuan mereka masing-masing; hingga sepeda motor yang berjajar di pinggir jalan sementara pemiliknya bersenang-senang dalam kedai makan. Tak hanya kendaraan yang masih berlalu-lalang di atas aspal yang kedinginan, tempat makan pun masih terbuka lebar bagi siapapun yang ingin mengganjal perutnya dengan makanan nikmat nan hangat. Mulai dari kedai kecil pinggir jalan, cafe-cafe, hingga restaurant besar. Dan di dalam tempat makan tersebut masih ramai dikunjungi. Ah, gemerlap ini sangat menggiurkan semua orang.

Jumat, 05 Juni 2015

Sajak Rindu

Untukmu sosok yang masih dirahasiakan Tuhan, saat ini mungkin kita sedang diajarkan mendewasa oleh jarak. Menikmati kilau fatamorgana yang bercampur gradasi warna dunia. Hai, adakah rasa ingin berjumpa untuk sekedar saling sapa? Ah, mungkin saat ini pertemuan hanya menjadi angan - angan yang terlihat maya di antara kita. Aku di sini hanya mampu mengukir sajak rindu berteman hujan. Kamu, entah apa yang sedang kau rasakan di sana, mungkinkah ingat tentang diriku? Atau mungkin tidak ada setitik pun bayangku yang jatuh dalam kotak memorimu. Tak apa, kau hanya perlu melakukan satu hal untukku, berjanjilah untuk baik – baik saja di sana.

Rabu, 03 Juni 2015

Pelukan Terakhir Sahabatku

            
Ribuan pasang kaki berlalu lalang di depanku, beberapa terburu – buru seolah dikejar waktu. Tak terlalu kurisaukan mereka, aku terlalu sibuk dengan pikiran yang berkecamuk.  Kutatap sosok yang sedang duduk membisu di sampingku, lekat dan lama, hingga kutangkap sayu matanya berbalik menatapku. Mata kami bersua penuh arti seolah berbicara, tapi mulut kami terkunci rapat, bibir kami larut dalam diam. Aku memalingkan wajah darinya, menatap kosong lurus ke depan, dapat kulihat dari sudut mataku bahwa Indra masih memandangku.
“Aku tak ingin pergi”, ujarnya singkat.
            Jantungku tersentak dan menoleh ke arahnya, senyum tipis terkembang di wajahku. Ingin bersorak di hadapannya mendengar kalimatnya tadi, namun aku tak boleh egois, kesempatan tak datang dua kali, dan inilah jalan menuju mimpinya meski perasaanku harus terkorbankan. Kutarik napas panjang, dan dengan mantap aku mulai angkat bicara, “Mimpimu sudah di depan mata, jangan kau sia – siakan kesempatan itu”.

Selasa, 02 Juni 2015

Sosok Tertatih


Aku hanya ingin menjadi lilin
Rela terbakar meneranginya
Aku hanya ingin menjadi mentari
Rela bersinar menghangatkannya
              Kini aku tak lagi mampu bersinar
              Kau redupkan sinarku dengan nafasmu
              Cahaya mentariku pun padam
              Tertutup mendung pandanganmu
Aku masih ingin menjagamu
Tapi tidak demikian bagi dirimu
Kau yang membuat langkahku terhenti
Meniti diri mempertahankanmu tetap terpatri
              Kau kejam membunuh sanubari
              Tidak demikian bagi lilinmu
              Tidak belaku di hadapan mentarimu
              Kekejamanmu hanya menghentikannya sejenak
              Beristirahat tertidur tapi tak lelap
Berselimut langit putih kelabu
Dalam hembusan nafas dunia
Menahan terpaan ombak deras keras
Lihatlah, lihat ini duhai cinta
Sesosok jiwa tertatih
Terseok berharap dirimu kembali


Verawati Nur Oktavia Rahayu

Jumat, 01 Mei 2015

Jakartaku Menyimpan Berjuta Cerita

               
Langit memurungkan wajah cerahnya, diiringi desir semilir angin menyapa dedaunan yang mengering. Awan tebal seolah tak mau kalah untuk ikut serta menyelimuti langit, menambah kesan kelabu untuk suasana sore ini. Sayup – sayup terdengar suara alunan melodi yang sangat indah dari kejauhan. Aku masih berada dalam perpustakaan kampusku, menyelesaikan tumpukan tugas yang membuat kepalaku hampir pecah. Kulirik jam di tanganku yang ternyata sudah menunjukkan pukul 16.30, itu tandanya sudah lebih dari 4 jam aku berkutat dengan artikel dan buku – buku tebal ini.
“Hah, setengah jam lagi perpustakaan ditutup tetapi tugas – tugas ini belum mencapai setengahnya yang aku kerjakan” gumamku hampir putus asa.
Penjaga perpustakaan yang sangat mengenalku tersenyum ramah ke arahku.
 “Belum selesai tugasnya, mbak Viona?”

Kamis, 26 Februari 2015

draft 1

Mentari di Kala Hujan

            Seindah pagi disapa sang surya yang masih malu – malu memancarkan sinarnya, nampaknya ia masih enggan bergerak cepat keluar ke peraduan. Sisa – sisa tetesan embun pun rasanya belum ingin beranjak dari hijaunya dedaunan. Desir sejuknya angin

Kamis, 27 November 2014

random quotes

Terkadang, melepaskan itu lebih baik dibandingkan dengan mempertahankan. Entah dengan alasan apa, meski telah melepaskan, hati tetap bertahan. Bertahan untuk tetap berdiri di tempat yang sama, menatapmu, yang mungkin telah jauh melangkah. Tak apa, biarkan aku tetap di sini, bertahan menunggu. Menghirup aroma tanah pasca hujan, menatap sisa2 bayangmu yang tertinggal. Harapan untuk kau kembali? Ada, bahkan sangat besar. Tapi bukan sekedar kembali seperti dulu, kembalilah pada saatnya nanti aku dan kau bisa merajut sebuah karya bernama "kita".