“Hah,
setengah jam lagi perpustakaan ditutup tetapi tugas – tugas ini belum mencapai
setengahnya yang aku kerjakan” gumamku hampir putus asa.
Penjaga
perpustakaan yang sangat mengenalku tersenyum ramah ke arahku.
“Belum selesai tugasnya, mbak Viona?”
“Belum
pak, sudah mau tutup ya? Maaf ya pak, sebentar lagi saya pulang kok” aku merasa
tak enak hati kepada Pak Anwar.
“Tidak
apa – apa mbak, lanjutkan saja dulu. Perpusnya tutup seperti biasa kok mbak,
saya tinggal beres – beres rak dulu ya” ujarnya ramah.
“Oh,
iya silakan pak. Terima kasih ya pak” jawabku seraya tersenyum.
“Iya
mbak, permisi” pamit Pak Anwar seraya berlalu dari hadapanku.
Aku
mulai memasukkan buku dan alat tulisku ke dalam tas sambil bergumam dalam
keluhanku, “Hari ini benar – benar melelahkan. Belum lagi aku harus lembur
malam ini, ternyata hidup di kota ini memang sangat keras dan menjenuhkan”.
****
Namaku Viona, aku terlahir dari
keluarga kecil yang sederhana. Ayahku hanyalah seorang guru honorer di desa
kecil yang harus membiayai tiga orang anak, dan ibuku hanyalah buruh konveksi.
Dulu, tak pernah sedikit pun terbesit dalam pikiranku untuk meneruskan sekolah
sampai pendidikan tinggi, apalagi di Jakarta. Jangankan untuk merantau ke sana,
bermimpi untuk melihat Jakarta saja aku tak punya keberanian. Seolah akan
kandas dengan mudahnya bila aku mendambakan kota itu, yang notabene adalah kota
yang sangat keras dengan kehidupan yang berkelas.
Hingga suatu ketika, entah mendapat
inspirasi dari mana, aku berkeinginan untuk melanjutkan kuliah di Jakarta. Aku
berharap mampu bertahan di sana dan mengubah nasib keluargaku. Aku sangat
mengerti bahwa ini berat, tapi aku yakin bisa melanjutkan studi di kota itu
dengan mandiri tanpa memberatkan kedua orang tuaku. Setelah melewati perdebatan
yang cukup panjang, akhirnya orang tuaku menyetujui keputusanku. Aku sangat
membaca rasa takut dalam wajah orang tuaku, dan aku mencoba meyakinkan mereka
bahwa aku akan baik – baik saja.
“Mbak
Viona, sudah rapi?” suara Pak Anwar mengejutkanku.
“Iya
pak, saya sudah selesai kok. Maaf ya pak lama sampai sore begini” aku bergegas
berjalan keluar perpustakaan.
“Tidak
apa – apa kok mbak, memang biasanya juga kan tutupnya jam segini” ujarnya sambil
mengunci pintu perpustakaan.
“Oh
iya pak, saya sering dengar suara biola, kira – kira suara itu dari mana
asalnya ya pak?” tanyaku penasaran.
“Oh,
itu dari sanggar kesenian mbak. Mas Rendra yang biasa main biola, dia hebat
sekali loh mbak main biolanya. Sudah sore, bapak permisi pulang duluan ya mbak”
pamitnya.
“Iya
silakan pak, terima kasih banyak ya pak” kataku mempersilakan.
Rendra? Aku penasaran dengan nama
yang baru saja disebutkan oleh Pak Anwar. Alunan biolanya sangat indah, mampu
memberikan ketenangan ketika aku penat mengerjakan tugas di perpustakaan. Aku
mengendap - endap mengintip ruang sanggar kesenian melalui jendela, tapi tidak
terlihat. Suara biola itu juga sudah tidak terdengar, apa mungkin sang
pemainnya sudah tidak ada di dalam.
“Maaf,
kamu cari siapa ya?” suara seseorang tiba – tiba mengejutkanku.
“Eh,
aku cuma mau cari orang yang main biola tadi, kalau gak salah namanya Rendra”
kataku terbata.
“Ada
keperluan apa ya kamu nyari aku? Aku Rendra Pranidana, orang yang kamu cari”
katanya sambil mengulurkan tangan.
Aku
menyambut uluran tangannya, “Aku Viona Budiman, bisa panggil aku Viona. Aku
cari kamu, soalnya aku dengar suara biola yang indah tadi, jadi aku penasaran
sama pemainnya”.
“Kamu
orangnya supel juga ya, bisa langsung asyik pas pertama kenal gini” ujarnya
sambil tertawa kecil.
“Ya,
emang ada yang salah ya kalau aku blak – blakan kaya begini?”
“Gak
kok, gak salah. Cuma langka aja gitu, ada orang kaya kamu”.
“Ya ampun, udah jam berapa ini, aku duluan ya
Ren, buru – buru takut terlambat” kataku sambil berlalu dan melambaikan tangan
ke arahnya.
****
Sore ini, seperti biasa aku harus
menjalankan rutinitas menjadi penyiar di salah satu radio swasta. Inilah caraku
untuk mencari biaya hidup dan kuliah, bersyukur aku masih mendapatkan pekerjaan
di tengah padatnya kota ini. Lelah memang harus menjalani kuliah sekaligus
bekerja, namun ini kulakukan semata – mata demi masa depanku dan keluargaku di
kampung.
Bus penuh sesak merapat ke tepi
jalan, aku berlari kecil segera menaiki bus itu. Aku harus berdiri di dalam bus
yang sangat padat penumpang itu, ditambah lalu lintas padat merayap, hal ini
sudah biasa aku alami setiap hari. Jakarta, kesanku kepada kota ini tetaplah
sama, sejak aku menginjakkan kaki pertama kali di kota ini hingga aku mengarungi
kerasnya hidup di sini hampir satu tahun. Kota ini terasa menjenuhkan, ditambah
dengan rutinitasku yang padat.
“Pendengar setia X FM kembali lagi
bersama saya, Viona Budiman. Saya akan menemani kalian selama lima jam ke depan
di acara Melodi Kenangan. Untuk kamu yang punya lagu kenangan, jangan disimpan
sendiri aja dong. Kamu bisa request
lagu kenangan kamu dan kamu juga bisa sedikit sharing tentang kisah dibalik lagu kenangan itu, masih kita tunggu
di line sms X FM. Sebagai pembuka, Viona punya lagu special buat kamu “If
You’re Not The One” by Daniel Bedingfield, bagi yang punya kenangan lewat lagu
ini silakan diresapi, check it out”.
Hujan masih setia menemani, seolah
tak tega pada keringnya malam tanpa cahaya bintang. Kota ini masih ramai
seperti siang hari, jalan raya pun masih penuh dipadati kendaraan. Aku nekat
menembus derasnya hujan, karena ingin segera sampai di rumah kontrakanku yang
mungil. Kontrakanku letaknya tak jauh dari radio tempat di mana aku bekerja,
sehingga hanya perlu ditempuh dengan berjalan kaki. Pikirku, lebih cepat sampai
rumah maka akan lebih baik. Nikmatnya teh hangat sudah menyergap dalam pikiranku,
dan aku ingin segera beristirahat melepas lelah.
****
“Viona,
tunggu Vi. Aku mau nanya sesuatu” aku menoleh sumber suara yang memanggil
namaku tadi. Rendra berlari ke arahku, napasnya terengah – engah seperti orang
yang habis mengikuti lomba lari marathon.
“Ada
apa Ren? Kayanya penting banget sampai buru – buru begitu?” tanyaku seraya
menyernyitkan dahi.
“Kamu
penyiar di Radio X FM ya? Penyiar di acara Melodi Kenangan? Kamu ternyata
berkutat di dunia musik?” tanyanya tanpa jeda.
“Hahaha,
kamu tuh nanya kaya polisi lagi interogasi penjahat aja. Oke oke, aku jawab
semua pertnyaan kamu. Iya, aku kerja di Radio X FM sebagai penyiar di acara
Melodi Kenangan. Kalau masalah musik, gak usah ditanya lagi, aku suka musik
dari SD Ren” jelasku panjang lebar.
“Kamu
sibuk gak? Aku masih mau ngobrol banyak nih, ke kantin yuk. Aku traktir loh,
hehehe” ajaknya antusias.
“Pas
banget ngajaknya, kuliahku kosong karena dosennya lagi ke luar negeri”.
“Sip”.
Kami berjalan beriringan menuju
kantin kampus sambil bercerita satu sama lain. Sejauh ini aku merasa nyaman
berbagi cerita dengan Rendra, tidak ada kesan buruk dalam penilaianku
terhadapnya. Dia sopan, ramah, dan hal yang paling aku suka darinya adalah
pembawaannya saat berbicara dengan orang lain yang santai namun tetap terkesan
oke. Aku kagum dengan sosoknya, terutama kepada kepiawaiannya bermain biola.
“Vi,
duduk duluan aja. Aku pesan makanan dan minuman dulu, kamu mau pesan apa?”
tawarnya.
“Apa
aja deh Ren, aku gak pemilih dalam hal makanan kok hehehe” candaku.
“Oke
deh, siap komandan” Rendra memasang posisi hormat di hadapanku.
Selama di kantin, kami banyak
berbincang dan berbagi cerita dari Sabang sampai Merauke. Aku nyaman dekat
dengannya, dan jika pikiranku tidak salah kira, dia juga terlihat merasa nyaman
dekat denganku. Rendra selalu menyelipkan canda di tengah pembicaraan kami, dia
mampu mencairkan suasana. Waktu seolah bergerak sangat cepat bila berbagi
cerita dengannya. Selalu ada topik yang tadinya sederhana menjadi sangat seru
untuk dibicarakan.
****
Di dalam ruangan segi empat, aku
termangu menatap dentingan waktu yang serasa melambat. Di luar sana, awan tebal
menyelimuti langit memberikan nuansa yang tak mendukung rencanaku dan Rendra
untuk menghabiskan hari libur bersama. Aku menunggu, menunggu sang mentari mau
tertawa riang menemani hari ini. Aku menunggu sang awan tebal rela berbaik hati
untuk merubah dirinya menjadi cerah. Aku menunggu di sini Tuhan, tolong bantu
aku.
Ternyata Tuhan memang sangat baik,
perlahan mentari menampakkan dirinya. Cahanya pun mulai masuk sedikit demi
sedikit memenuhi kamarku melalui ventilasi. Aku beranjak dari tempat tidurku
dan bersiap – siap untuk menepati janji dengan Rendra. Hari libur yang biasanya
kuhabiskan hanya dengan hibernasi di kamar, akan berbeda kali ini.
Biip
biip biip biip. . .
Ponselku berdering, dengan terburu –
buru aku meraihnya dan membuka pesan singkat yang mampir ke dalam kotak masuk. Pesan
dari Rendra, ternyata dia sudah menunggu di depan gang rumahku. Motornya tidak
bisa masuk ke dalam gang kecil menuju rumahku, yang memang sangat sempit dan
melewati beberapa anak tangga. Aku membalas pesannya dengan segera, meminta dia
untuk menunggu sebentar.
“Kita
mau ke mana aja Ren? Macet gak ya? Kan kesel kalau di mana – mana macet, yang
ada bakal capek di jalan”.
“Lihat
aja nanti, kamu pasti gak bakal nyesel deh”.
Mentari terlalu bersemangat rupanya,
namun tak mengurangi rasa bahagiaku sedikit pun. Andaikan aku bisa membuat
keajaiban, ingin rasanya aku menambah jumlah jam dalam satu hari ini agar
kebersamaanku dengan Rendra tak segera berakhir. Detik – detik yang kami lewati
terasa sangat mahal, kami tertawa, bercanda, dan mengabadikan momen beharga ini
melalui kamera miliknya.
Seperti biasa, waktu berputar sangat
cepat jika dihabiskan bersama Rendra. Aku bahkan mengagumi Kota Jakarta yang
selama ini menjemukan di mataku, semua karena Rendra. Ya, dia yang telah
mengubah segalanya. Aku suka, kagum, atau bahkan mungkin aku telah jatuh cinta
padanya. Andai aku punya keberanian untuk mengungkapkan ini, tapi biarlah dia
tidak mengetahuinya. Bagiku sudah lebih dari cukup jika menghabiskan waktu
bersamanya.
****
“Nah,
ini tempat terakhir yang mau aku tunjukkin ke kamu. Pantai. Di sini, kita akan
lihat indahnya matahari saat terbenam, akan ada kejutan juga dari kota ini”.
Senja pun mulai menyergap, kami
saling terdiam saat menyaksikan sang mentari kembali ke peraduannya. Desir
semilir angin menyapu rambutku yang terurai lepas, menyapa wajahku yang masih
menatap lurus pada pemandangan indah yang belum pernah aku saksikan sebelumnya.
Lagi, Rendra memberikan kejutan indah lagi untukku dengan mengambil gambar sunset yang sangat indah itu. Senja yang
jingga, diiringi dengan deburan ombak yang menabrak batu karang di pinggir
pantai.
Hari pun berubah menjadi gelap,
tugas sang mentari telah digantikan oleh bulan yang menerangi langit malam ini.
Langit sangat berbahagia, karena bukan hanya bulan yang menemaninya. Bintang –
bintang pun mulai bermunculan satu per satu dan memancarkan cahaya indahnya.
Aku terpaku, mataku berkeliling pandang menatap sekitarku. Aku tak pernah tau
bahwa ternyata Jakarta seindah ini, hari ini telah memberikan satu kesan baru
untuk kota ini. Mengagumkan, sangat mengagumkan.
“Lihat
deh, kata orang bintang yang paling terang di langit sana itu namanya Orion.
Selalu tampak lebih bercahaya dibanding yang lain, tapi ada dua bintang yang
terangnya melebihi Orion” Rendra tak menyelesaikan kata – katanya.
Aku menoleh ke arahnya dengan raut
wajah menunggu lanjutan kata – katanya yang menggantung tadi. Dia menatapaku
dalam, tersenyum penuh arti sambil berucap, “Kedua bintang itu ada di mata
kamu”.
“Huuu,
dasar cowok suka ngegombal” aku meninju lengannya dengan pelan.
Kami pun tertawa bersama memecah
keheningan malam, tak dapat kutipu hatiku bahwa aku sangat senang dengan
perkataannya tadi. Andai kamu mengetahui perasaanku Ren, bahwa aku
menyayangimu. Aku jatuh cinta pada sosokmu yang apa adanya ini. Mungkin nanti,
suatu saat nanti waktu akan menyampaikan rasa ini kepadamu.
Rendra bercerita padaku tentang
bintang, dia tunjukkan keindahan Jakarta di waktu malam. Rasa damai seketika
menjalar dalam aliran darahku, mataku berbinar menikmati kerlip cahaya bintang
dan lampu yang menghias kota ini. Jakarta, kota yang tak pernah tidur, kota di
mana jutaan orang mengadu nasib, kota yang kupikir selama ini hanya dipenuhi
dengan kejenuhan dan keriuhan. Kini aku mengerti, sudut – sudut kota Jakarta
ternyata menyimpan berjuta keindahan yang tersembunyi. Di sini pula aku
menemukan sahabat terbaik sekaligus cinta sejatiku, Rendra.
“Vi,
aku bahagia lihat kamu tersenyum. Aku mau kamu selalu tersenyum apa pun yang
terjadi. Sekeras apapun dunia dan masalah yang kamu hadapi, kembangkan senyum
kamu Vi. Buat aku, buat semua orang yang menyayangimu, buat kota ini yang
menjadi saksi bisu momen ini. Jangan sedih kalau aku pulang ya”.
Permintaan itu terdengar sangat
tulus di telingaku, tanpa sedikit keraguan aku pun mengangguk sebagai
persetujuan bahwa aku akan terus tersenyum. Demi keluargaku, demi kota ini, dan
demi kamu Ren.
****
Pagi ini entah mengapa perasaanku
gundah, aku tak tenang. Aku merasa sangat merindukan Rendra. Di mana dia,
kenapa belum muncul juga padahal aku sangat membutuhkan dirinya. Apa dia pulang
ke rumah orang tuanya, tapi mengapa dia tidak bilang padaku. Kuputuskan untuk
datang ke kosnya setelah kuliah nanti, awas saja nanti dia akan habis kumarahi.
Kosnya sepi, tak ada tanda – tanda
keberadaan Rendra di sini. Benar – benar anak ini, membuatku kesal saja.
“Cari
siapa mbak?” seorang ibu mengejutkanku.
“Anu
bu, Rendra yang kos di sini ada di dalam tidak ya? Atau sedang pergi?”
“Loh,
semalam kan dia mengalami kecelakaan, dan nyawanya tidak tertolong. Jasadnya sudah
dibawa pulang oleh keluarganya”.
Aku terdiam, serasa tersambar petir
mendengar kenyataan ini. Baru semalam aku bersamanya, dan saat ini aku sudah
harus kehilangannya untuk selamanya. Napasku seolah berhenti, dadaku sesak,
mulutku terkunci rapat, dan air mata pun mulai jatuh mengalir di pipiku. Aku
berlari menembus hujan yang seolah mengerti kesedihanku, aku berteriak dan
menangis di taman kosong. Aku sendiri, merasa sangat sendiri.
****
Selepas kepergian Rendra, hidupku
terasa kelam tanpa goresan warna. Tak ada lagi senyumnya, tak ada lagi tawanya,
tak ada lagi candanya, semua menjauh dan menghilang dari bayanganku. Menangis,
sudah tak sanggup lagi rasanya untuk menangis. Air mataku seolah telah kering,
terbakar menguap oleh rasa pedih yang tak lagi mampu kuungkapkan. Liburan
panjang akhir semester tak akan jadi momen terindah lagi untukku. Aku
memutuskan untuk pulang kampung pada libur kali ini, dan entah aku akan kembali
lagi ke Jakarta atau tidak.
****
Liburanku sudah hampir habis,
sedangkan diriku masih mengunci diri rapat – rapat dalam diam. Di sudut ruangan
aku memandang kenangan, momen yang sempat diabadikan oleh Rendra. Aku
mengenang, terus menyusuri kenangan dalam diam. Haruskah aku kembali ke kota
itu, kota di mana tersimpan cerita indah bersamanya. Kuputar memori indah dalam
benakku, saat itu aku pernah berjanji bahwa aku akan terus mengembangkan
senyumku. Apakah ini saatnya?
Rendra mengajarkanku banyak hal, dia
mengajarkanku arti pertemanan, dia mengajarkanku cara tersenyum, dia mengajarkanku
rasanya bahagia, tetapi beberapa hal yang dia tak pernah ajarkan, adalah cara
bersedih dan kehilangan serta cara melupakannya. Aku tersadar, inilah yang dia
inginkan dariku, melakukan apa yang pernah diajarkannya. Ini saatnya aku
menepati janjiku, aku tidak akan bersedih saat dia pulang. Aku akan tersenyum
dalam keadaan sekeras apapun.
Aku memang kehilangannya dari
pandanganku, tapi tidak dari hati dan pikiranku. Aku tak perlu melupakannya,
biarkan dia tetap menjadi kenangan dalam hidupku. Biarkan terbang bersama anai
– anai hingga waktu yang akan mengembalikan keindahan yang dulu kami rasakan,
mungkin nanti di tempat yang dimensi dan alurnya berbeda. Aku harus kembali ke
Jakarta, aku harus mewujudkan mimpi – mimpi yang telah aku gantungkan di kota
itu.
****
Aku telah sampai di kota kenanganku,
dan aku akan memulai semuanya kembali. Kupenuhi hari – hariku dengan semua
kegiatan seperti biasa, kuliah dan bekerja. Jakartaku tak lagi membuatku jenuh,
karena cerita indah pernah terukir di sini. Sudut – sudut kotamu menjadi saksi
kebahagiaan dan cintaku, menyimpan segudang cerita yang menciptakan manis dan
pahit kehidupan.
“Ren,
aku di sini. Kamu tau gak, kalo bintang yang terindah itu bukan di mata aku.
Bintang itu adalah kamu, dan aku yakin sekarang kamu ada di antara bintang –
bintang yang menemani malamku. Aku kembali Ren, aku akan wujudkan mimpi –
mimpiku di kota ini. Kamu menjadi salah satu alasan yang membuatku kembali ke
Jakarta, karena di mana pun kamu sekarang dan apapun yang terjadi, kenangan itu
tak akan pernah terhapus”.
Selamat jalan Rendra Pranidana, semoga
Tuhan memberikanmu tempat ternyaman di Surga. Kamu selalu berusaha membuat aku
bahagia, dan aku tidak akan sampai hati mengecewakanmu, aku akan menjadi pelita
untuk kegelapan dengan senyumanku untuk dunia. I Love You, Rendra. You are my
star, you are my smile, you are my life, forever.
Biodata
Narasi
Namaku Verawati Nur Oktavia Rahayu, lahir di
Jakarta pada 1 Oktober 1993. Aku tinggal di Tangerang, dan kini sedang merantau
untuk meneruskan studi S1 di kota hujan. Aku suka menulis, dan menjadikannya
sebagai teman untuk bercerita. Menulis bagiku adalah curahan isi hati, sebuah
pemaparan hidup yang diwarnai sedikit pancaran imajinasi. Dengan menulis aku
bisa mengerti sedikit tentang arti kehidupan, dan bisa memandang segala sesuatu
dari kacamata orang lain. Aku bukanlah orang bijak, aku hanya ingin berceloteh
dan berbagi kisah lewat kata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar