Powered By Blogger

Jumat, 01 Mei 2015

Jakartaku Menyimpan Berjuta Cerita

               
Langit memurungkan wajah cerahnya, diiringi desir semilir angin menyapa dedaunan yang mengering. Awan tebal seolah tak mau kalah untuk ikut serta menyelimuti langit, menambah kesan kelabu untuk suasana sore ini. Sayup – sayup terdengar suara alunan melodi yang sangat indah dari kejauhan. Aku masih berada dalam perpustakaan kampusku, menyelesaikan tumpukan tugas yang membuat kepalaku hampir pecah. Kulirik jam di tanganku yang ternyata sudah menunjukkan pukul 16.30, itu tandanya sudah lebih dari 4 jam aku berkutat dengan artikel dan buku – buku tebal ini.
“Hah, setengah jam lagi perpustakaan ditutup tetapi tugas – tugas ini belum mencapai setengahnya yang aku kerjakan” gumamku hampir putus asa.
Penjaga perpustakaan yang sangat mengenalku tersenyum ramah ke arahku.
 “Belum selesai tugasnya, mbak Viona?”

“Belum pak, sudah mau tutup ya? Maaf ya pak, sebentar lagi saya pulang kok” aku merasa tak enak hati kepada Pak Anwar.
“Tidak apa – apa mbak, lanjutkan saja dulu. Perpusnya tutup seperti biasa kok mbak, saya tinggal beres – beres rak dulu ya” ujarnya ramah.
“Oh, iya silakan pak. Terima kasih ya pak” jawabku seraya tersenyum.
“Iya mbak, permisi” pamit Pak Anwar seraya berlalu dari hadapanku.
Aku mulai memasukkan buku dan alat tulisku ke dalam tas sambil bergumam dalam keluhanku, “Hari ini benar – benar melelahkan. Belum lagi aku harus lembur malam ini, ternyata hidup di kota ini memang sangat keras dan menjenuhkan”.
****
            Namaku Viona, aku terlahir dari keluarga kecil yang sederhana. Ayahku hanyalah seorang guru honorer di desa kecil yang harus membiayai tiga orang anak, dan ibuku hanyalah buruh konveksi. Dulu, tak pernah sedikit pun terbesit dalam pikiranku untuk meneruskan sekolah sampai pendidikan tinggi, apalagi di Jakarta. Jangankan untuk merantau ke sana, bermimpi untuk melihat Jakarta saja aku tak punya keberanian. Seolah akan kandas dengan mudahnya bila aku mendambakan kota itu, yang notabene adalah kota yang sangat keras dengan kehidupan yang berkelas.
            Hingga suatu ketika, entah mendapat inspirasi dari mana, aku berkeinginan untuk melanjutkan kuliah di Jakarta. Aku berharap mampu bertahan di sana dan mengubah nasib keluargaku. Aku sangat mengerti bahwa ini berat, tapi aku yakin bisa melanjutkan studi di kota itu dengan mandiri tanpa memberatkan kedua orang tuaku. Setelah melewati perdebatan yang cukup panjang, akhirnya orang tuaku menyetujui keputusanku. Aku sangat membaca rasa takut dalam wajah orang tuaku, dan aku mencoba meyakinkan mereka bahwa aku akan baik – baik saja.
“Mbak Viona, sudah rapi?” suara Pak Anwar mengejutkanku.
“Iya pak, saya sudah selesai kok. Maaf ya pak lama sampai sore begini” aku bergegas berjalan keluar perpustakaan.
“Tidak apa – apa kok mbak, memang biasanya juga kan tutupnya jam segini” ujarnya sambil mengunci pintu perpustakaan.
“Oh iya pak, saya sering dengar suara biola, kira – kira suara itu dari mana asalnya ya pak?” tanyaku penasaran.
“Oh, itu dari sanggar kesenian mbak. Mas Rendra yang biasa main biola, dia hebat sekali loh mbak main biolanya. Sudah sore, bapak permisi pulang duluan ya mbak” pamitnya.
“Iya silakan pak, terima kasih banyak ya pak” kataku mempersilakan.
            Rendra? Aku penasaran dengan nama yang baru saja disebutkan oleh Pak Anwar. Alunan biolanya sangat indah, mampu memberikan ketenangan ketika aku penat mengerjakan tugas di perpustakaan. Aku mengendap - endap mengintip ruang sanggar kesenian melalui jendela, tapi tidak terlihat. Suara biola itu juga sudah tidak terdengar, apa mungkin sang pemainnya sudah tidak ada di dalam.
“Maaf, kamu cari siapa ya?” suara seseorang tiba – tiba mengejutkanku.
“Eh, aku cuma mau cari orang yang main biola tadi, kalau gak salah namanya Rendra” kataku terbata.
“Ada keperluan apa ya kamu nyari aku? Aku Rendra Pranidana, orang yang kamu cari” katanya sambil mengulurkan tangan.
Aku menyambut uluran tangannya, “Aku Viona Budiman, bisa panggil aku Viona. Aku cari kamu, soalnya aku dengar suara biola yang indah tadi, jadi aku penasaran sama pemainnya”.
“Kamu orangnya supel juga ya, bisa langsung asyik pas pertama kenal gini” ujarnya sambil tertawa kecil.
“Ya, emang ada yang salah ya kalau aku blak – blakan kaya begini?”
“Gak kok, gak salah. Cuma langka aja gitu, ada orang kaya kamu”.
 “Ya ampun, udah jam berapa ini, aku duluan ya Ren, buru – buru takut terlambat” kataku sambil berlalu dan melambaikan tangan ke arahnya.
****
            Sore ini, seperti biasa aku harus menjalankan rutinitas menjadi penyiar di salah satu radio swasta. Inilah caraku untuk mencari biaya hidup dan kuliah, bersyukur aku masih mendapatkan pekerjaan di tengah padatnya kota ini. Lelah memang harus menjalani kuliah sekaligus bekerja, namun ini kulakukan semata – mata demi masa depanku dan keluargaku di kampung.
            Bus penuh sesak merapat ke tepi jalan, aku berlari kecil segera menaiki bus itu. Aku harus berdiri di dalam bus yang sangat padat penumpang itu, ditambah lalu lintas padat merayap, hal ini sudah biasa aku alami setiap hari. Jakarta, kesanku kepada kota ini tetaplah sama, sejak aku menginjakkan kaki pertama kali di kota ini hingga aku mengarungi kerasnya hidup di sini hampir satu tahun. Kota ini terasa menjenuhkan, ditambah dengan rutinitasku yang padat.
            “Pendengar setia X FM kembali lagi bersama saya, Viona Budiman. Saya akan menemani kalian selama lima jam ke depan di acara Melodi Kenangan. Untuk kamu yang punya lagu kenangan, jangan disimpan sendiri aja dong. Kamu bisa request lagu kenangan kamu dan kamu juga bisa sedikit sharing tentang kisah dibalik lagu kenangan itu, masih kita tunggu di line sms X FM. Sebagai pembuka, Viona punya lagu special buat kamu “If You’re Not The One” by Daniel Bedingfield, bagi yang punya kenangan lewat lagu ini silakan diresapi, check it out”.
            Hujan masih setia menemani, seolah tak tega pada keringnya malam tanpa cahaya bintang. Kota ini masih ramai seperti siang hari, jalan raya pun masih penuh dipadati kendaraan. Aku nekat menembus derasnya hujan, karena ingin segera sampai di rumah kontrakanku yang mungil. Kontrakanku letaknya tak jauh dari radio tempat di mana aku bekerja, sehingga hanya perlu ditempuh dengan berjalan kaki. Pikirku, lebih cepat sampai rumah maka akan lebih baik. Nikmatnya teh hangat sudah menyergap dalam pikiranku, dan aku ingin segera beristirahat melepas lelah.
****
“Viona, tunggu Vi. Aku mau nanya sesuatu” aku menoleh sumber suara yang memanggil namaku tadi. Rendra berlari ke arahku, napasnya terengah – engah seperti orang yang habis mengikuti lomba lari marathon.
“Ada apa Ren? Kayanya penting banget sampai buru – buru begitu?” tanyaku seraya menyernyitkan dahi.
“Kamu penyiar di Radio X FM ya? Penyiar di acara Melodi Kenangan? Kamu ternyata berkutat di dunia musik?” tanyanya tanpa jeda.
“Hahaha, kamu tuh nanya kaya polisi lagi interogasi penjahat aja. Oke oke, aku jawab semua pertnyaan kamu. Iya, aku kerja di Radio X FM sebagai penyiar di acara Melodi Kenangan. Kalau masalah musik, gak usah ditanya lagi, aku suka musik dari SD Ren” jelasku panjang lebar.
“Kamu sibuk gak? Aku masih mau ngobrol banyak nih, ke kantin yuk. Aku traktir loh, hehehe” ajaknya antusias.
“Pas banget ngajaknya, kuliahku kosong karena dosennya lagi ke luar negeri”.
“Sip”.
            Kami berjalan beriringan menuju kantin kampus sambil bercerita satu sama lain. Sejauh ini aku merasa nyaman berbagi cerita dengan Rendra, tidak ada kesan buruk dalam penilaianku terhadapnya. Dia sopan, ramah, dan hal yang paling aku suka darinya adalah pembawaannya saat berbicara dengan orang lain yang santai namun tetap terkesan oke. Aku kagum dengan sosoknya, terutama kepada kepiawaiannya bermain biola.
“Vi, duduk duluan aja. Aku pesan makanan dan minuman dulu, kamu mau pesan apa?” tawarnya.
“Apa aja deh Ren, aku gak pemilih dalam hal makanan kok hehehe” candaku.
“Oke deh, siap komandan” Rendra memasang posisi hormat di hadapanku.
            Selama di kantin, kami banyak berbincang dan berbagi cerita dari Sabang sampai Merauke. Aku nyaman dekat dengannya, dan jika pikiranku tidak salah kira, dia juga terlihat merasa nyaman dekat denganku. Rendra selalu menyelipkan canda di tengah pembicaraan kami, dia mampu mencairkan suasana. Waktu seolah bergerak sangat cepat bila berbagi cerita dengannya. Selalu ada topik yang tadinya sederhana menjadi sangat seru untuk dibicarakan.
****
            Di dalam ruangan segi empat, aku termangu menatap dentingan waktu yang serasa melambat. Di luar sana, awan tebal menyelimuti langit memberikan nuansa yang tak mendukung rencanaku dan Rendra untuk menghabiskan hari libur bersama. Aku menunggu, menunggu sang mentari mau tertawa riang menemani hari ini. Aku menunggu sang awan tebal rela berbaik hati untuk merubah dirinya menjadi cerah. Aku menunggu di sini Tuhan, tolong bantu aku.
            Ternyata Tuhan memang sangat baik, perlahan mentari menampakkan dirinya. Cahanya pun mulai masuk sedikit demi sedikit memenuhi kamarku melalui ventilasi. Aku beranjak dari tempat tidurku dan bersiap – siap untuk menepati janji dengan Rendra. Hari libur yang biasanya kuhabiskan hanya dengan hibernasi di kamar, akan berbeda kali ini.
Biip biip biip biip. . .
            Ponselku berdering, dengan terburu – buru aku meraihnya dan membuka pesan singkat yang mampir ke dalam kotak masuk. Pesan dari Rendra, ternyata dia sudah menunggu di depan gang rumahku. Motornya tidak bisa masuk ke dalam gang kecil menuju rumahku, yang memang sangat sempit dan melewati beberapa anak tangga. Aku membalas pesannya dengan segera, meminta dia untuk menunggu sebentar.
“Kita mau ke mana aja Ren? Macet gak ya? Kan kesel kalau di mana – mana macet, yang ada bakal capek di jalan”.
“Lihat aja nanti, kamu pasti gak bakal nyesel deh”.
            Mentari terlalu bersemangat rupanya, namun tak mengurangi rasa bahagiaku sedikit pun. Andaikan aku bisa membuat keajaiban, ingin rasanya aku menambah jumlah jam dalam satu hari ini agar kebersamaanku dengan Rendra tak segera berakhir. Detik – detik yang kami lewati terasa sangat mahal, kami tertawa, bercanda, dan mengabadikan momen beharga ini melalui kamera miliknya.
            Seperti biasa, waktu berputar sangat cepat jika dihabiskan bersama Rendra. Aku bahkan mengagumi Kota Jakarta yang selama ini menjemukan di mataku, semua karena Rendra. Ya, dia yang telah mengubah segalanya. Aku suka, kagum, atau bahkan mungkin aku telah jatuh cinta padanya. Andai aku punya keberanian untuk mengungkapkan ini, tapi biarlah dia tidak mengetahuinya. Bagiku sudah lebih dari cukup jika menghabiskan waktu bersamanya.
****
“Nah, ini tempat terakhir yang mau aku tunjukkin ke kamu. Pantai. Di sini, kita akan lihat indahnya matahari saat terbenam, akan ada kejutan juga dari kota ini”.
            Senja pun mulai menyergap, kami saling terdiam saat menyaksikan sang mentari kembali ke peraduannya. Desir semilir angin menyapu rambutku yang terurai lepas, menyapa wajahku yang masih menatap lurus pada pemandangan indah yang belum pernah aku saksikan sebelumnya. Lagi, Rendra memberikan kejutan indah lagi untukku dengan mengambil gambar sunset yang sangat indah itu. Senja yang jingga, diiringi dengan deburan ombak yang menabrak batu karang di pinggir pantai.
            Hari pun berubah menjadi gelap, tugas sang mentari telah digantikan oleh bulan yang menerangi langit malam ini. Langit sangat berbahagia, karena bukan hanya bulan yang menemaninya. Bintang – bintang pun mulai bermunculan satu per satu dan memancarkan cahaya indahnya. Aku terpaku, mataku berkeliling pandang menatap sekitarku. Aku tak pernah tau bahwa ternyata Jakarta seindah ini, hari ini telah memberikan satu kesan baru untuk kota ini. Mengagumkan, sangat mengagumkan.
“Lihat deh, kata orang bintang yang paling terang di langit sana itu namanya Orion. Selalu tampak lebih bercahaya dibanding yang lain, tapi ada dua bintang yang terangnya melebihi Orion” Rendra tak menyelesaikan kata – katanya.
            Aku menoleh ke arahnya dengan raut wajah menunggu lanjutan kata – katanya yang menggantung tadi. Dia menatapaku dalam, tersenyum penuh arti sambil berucap, “Kedua bintang itu ada di mata kamu”.
“Huuu, dasar cowok suka ngegombal” aku meninju lengannya dengan pelan.
            Kami pun tertawa bersama memecah keheningan malam, tak dapat kutipu hatiku bahwa aku sangat senang dengan perkataannya tadi. Andai kamu mengetahui perasaanku Ren, bahwa aku menyayangimu. Aku jatuh cinta pada sosokmu yang apa adanya ini. Mungkin nanti, suatu saat nanti waktu akan menyampaikan rasa ini kepadamu.
            Rendra bercerita padaku tentang bintang, dia tunjukkan keindahan Jakarta di waktu malam. Rasa damai seketika menjalar dalam aliran darahku, mataku berbinar menikmati kerlip cahaya bintang dan lampu yang menghias kota ini. Jakarta, kota yang tak pernah tidur, kota di mana jutaan orang mengadu nasib, kota yang kupikir selama ini hanya dipenuhi dengan kejenuhan dan keriuhan. Kini aku mengerti, sudut – sudut kota Jakarta ternyata menyimpan berjuta keindahan yang tersembunyi. Di sini pula aku menemukan sahabat terbaik sekaligus cinta sejatiku, Rendra.
“Vi, aku bahagia lihat kamu tersenyum. Aku mau kamu selalu tersenyum apa pun yang terjadi. Sekeras apapun dunia dan masalah yang kamu hadapi, kembangkan senyum kamu Vi. Buat aku, buat semua orang yang menyayangimu, buat kota ini yang menjadi saksi bisu momen ini. Jangan sedih kalau aku pulang ya”.
            Permintaan itu terdengar sangat tulus di telingaku, tanpa sedikit keraguan aku pun mengangguk sebagai persetujuan bahwa aku akan terus tersenyum. Demi keluargaku, demi kota ini, dan demi kamu Ren.
****
            Pagi ini entah mengapa perasaanku gundah, aku tak tenang. Aku merasa sangat merindukan Rendra. Di mana dia, kenapa belum muncul juga padahal aku sangat membutuhkan dirinya. Apa dia pulang ke rumah orang tuanya, tapi mengapa dia tidak bilang padaku. Kuputuskan untuk datang ke kosnya setelah kuliah nanti, awas saja nanti dia akan habis kumarahi.
            Kosnya sepi, tak ada tanda – tanda keberadaan Rendra di sini. Benar – benar anak ini, membuatku kesal saja.
“Cari siapa mbak?” seorang ibu mengejutkanku.
“Anu bu, Rendra yang kos di sini ada di dalam tidak ya? Atau sedang pergi?”
“Loh, semalam kan dia mengalami kecelakaan, dan nyawanya tidak tertolong. Jasadnya sudah dibawa pulang oleh keluarganya”.
            Aku terdiam, serasa tersambar petir mendengar kenyataan ini. Baru semalam aku bersamanya, dan saat ini aku sudah harus kehilangannya untuk selamanya. Napasku seolah berhenti, dadaku sesak, mulutku terkunci rapat, dan air mata pun mulai jatuh mengalir di pipiku. Aku berlari menembus hujan yang seolah mengerti kesedihanku, aku berteriak dan menangis di taman kosong. Aku sendiri, merasa sangat sendiri.
****
            Selepas kepergian Rendra, hidupku terasa kelam tanpa goresan warna. Tak ada lagi senyumnya, tak ada lagi tawanya, tak ada lagi candanya, semua menjauh dan menghilang dari bayanganku. Menangis, sudah tak sanggup lagi rasanya untuk menangis. Air mataku seolah telah kering, terbakar menguap oleh rasa pedih yang tak lagi mampu kuungkapkan. Liburan panjang akhir semester tak akan jadi momen terindah lagi untukku. Aku memutuskan untuk pulang kampung pada libur kali ini, dan entah aku akan kembali lagi ke Jakarta atau tidak.
****
            Liburanku sudah hampir habis, sedangkan diriku masih mengunci diri rapat – rapat dalam diam. Di sudut ruangan aku memandang kenangan, momen yang sempat diabadikan oleh Rendra. Aku mengenang, terus menyusuri kenangan dalam diam. Haruskah aku kembali ke kota itu, kota di mana tersimpan cerita indah bersamanya. Kuputar memori indah dalam benakku, saat itu aku pernah berjanji bahwa aku akan terus mengembangkan senyumku. Apakah ini saatnya?
            Rendra mengajarkanku banyak hal, dia mengajarkanku arti pertemanan, dia mengajarkanku cara tersenyum, dia mengajarkanku rasanya bahagia, tetapi beberapa hal yang dia tak pernah ajarkan, adalah cara bersedih dan kehilangan serta cara melupakannya. Aku tersadar, inilah yang dia inginkan dariku, melakukan apa yang pernah diajarkannya. Ini saatnya aku menepati janjiku, aku tidak akan bersedih saat dia pulang. Aku akan tersenyum dalam keadaan sekeras apapun.
            Aku memang kehilangannya dari pandanganku, tapi tidak dari hati dan pikiranku. Aku tak perlu melupakannya, biarkan dia tetap menjadi kenangan dalam hidupku. Biarkan terbang bersama anai – anai hingga waktu yang akan mengembalikan keindahan yang dulu kami rasakan, mungkin nanti di tempat yang dimensi dan alurnya berbeda. Aku harus kembali ke Jakarta, aku harus mewujudkan mimpi – mimpi yang telah aku gantungkan di kota itu.
****
            Aku telah sampai di kota kenanganku, dan aku akan memulai semuanya kembali. Kupenuhi hari – hariku dengan semua kegiatan seperti biasa, kuliah dan bekerja. Jakartaku tak lagi membuatku jenuh, karena cerita indah pernah terukir di sini. Sudut – sudut kotamu menjadi saksi kebahagiaan dan cintaku, menyimpan segudang cerita yang menciptakan manis dan pahit kehidupan.
“Ren, aku di sini. Kamu tau gak, kalo bintang yang terindah itu bukan di mata aku. Bintang itu adalah kamu, dan aku yakin sekarang kamu ada di antara bintang – bintang yang menemani malamku. Aku kembali Ren, aku akan wujudkan mimpi – mimpiku di kota ini. Kamu menjadi salah satu alasan yang membuatku kembali ke Jakarta, karena di mana pun kamu sekarang dan apapun yang terjadi, kenangan itu tak akan pernah terhapus”.
            Selamat jalan Rendra Pranidana, semoga Tuhan memberikanmu tempat ternyaman di Surga. Kamu selalu berusaha membuat aku bahagia, dan aku tidak akan sampai hati mengecewakanmu, aku akan menjadi pelita untuk kegelapan dengan senyumanku untuk dunia. I Love You, Rendra. You are my star, you are my smile, you are my life, forever.


Biodata Narasi
Namaku Verawati Nur Oktavia Rahayu, lahir di Jakarta pada 1 Oktober 1993. Aku tinggal di Tangerang, dan kini sedang merantau untuk meneruskan studi S1 di kota hujan. Aku suka menulis, dan menjadikannya sebagai teman untuk bercerita. Menulis bagiku adalah curahan isi hati, sebuah pemaparan hidup yang diwarnai sedikit pancaran imajinasi. Dengan menulis aku bisa mengerti sedikit tentang arti kehidupan, dan bisa memandang segala sesuatu dari kacamata orang lain. Aku bukanlah orang bijak, aku hanya ingin berceloteh dan berbagi kisah lewat kata.

Tidak ada komentar: