Powered By Blogger

Rabu, 19 Februari 2014

kontruksi novel vera dan ozzi


“Giza, bangun! Jangan salahin mama kalau kamu terlambat sekolah ya” suara teriakan mama yang masih sabar membangunkanku menelusup ke dalam telinga.

                Mau tak mau aku pun mulai membuka mata perlahan, rasanya enggan sekali meninggalkan tempat tidur. Mataku masih terasa sangat berat untuk kembali berakomodasi namun apa dayaku bila dunia telah merubah diri dari malam menjadi pagi. Hari ini adalah hari yang paling tak kusukai di setiap minggunya. Ya, setiap hari Senin aku merasakan beratnya aktivitas sejak pertama kali aku memasuki dunia putih abu – abu. Hari terberat dimana aku harus mengatakan selamat tinggal kepada liburan akhir pekan, dan aku harus menyambut datangnya hari ini dengan upacara. Oh tidak, mengingat upacara bendera membuat suasana hatiku semakin menjadi tidak bagus. Sekolahku memang langka dalam menentukan jadwal upacara, 06.00 merupakan angka keramat bagi seluruh siswa SMA Panca Sejahtera setiap hari Senin. Bisa dibayangkan betapa menyebalkannya harus berdiri di tengah lapangan pada pagi buta seperti itu.
               
                Masih terbalut rasa malas, aku melirik jam digital berbentuk lumba – lumba yang kuletakkan di atas meja belajar. Dan, betapa terkejutnya aku hingga memekik keras tak tertahan ketika melihat angka 05.45 terpampang pada jam tersebut. Itu tandanya aku hanya punya waktu lima belas menit sebelum upacara dimulai, dan yang sangat tidak menyenangkan adalah sepertinya aku akan terlambat. Toleransi keterlambatan, jangan harap sekolahku memberlakukan itu. Tanpa pikir panjang aku berlari menuju kamar mandi, oh betapa bodohnya aku masih sempat bersantai terbuai dalam mimpi padahal sepertinya mama sudah berusaha membangunkanku sejak pukul lima pagi. Selesai bersiap – siap aku segera meluncur berlari untuk sampai ke depan komplek rumahku, dan aku menghela napas putus asa karena lima menit lagi gerbang sekolah akan ditutup.

“Mau berlari dengan kecepatan apapun pasti tetap akan terlambat, lebih baik naik ojeg biar cepat sampai” gumamku penuh kekesalan.

                Mataku berkeliling mencari tukang ojeg, namun aku tidak menemukan tanda – tanda keberadaan mereka satu pun. Wah, gawat kalau sampai aku terlambat dan harus menjalani hukuman yang dijamin akan membuat kaki pegal – pegal selama beberapa hari. Jalan jongkok dan squat jump menjadi hukuman andalan bagi para guru untuk memberi peringatan kepada siswa yang terlambat, dan sepertinya hari ini aku akan mencicipinya. Ingin sekali berteriak sekencangnya disaat genting seperti ini, Oh Tuhan bantulah aku.

                Tiba – tiba ada motor yang melintas di hadapanku. Entah mendapat inspirasi dari mana aku pun berteriak dengan wajah memelas, “STOP, STOP, STOP, STOOOOOP”!

`             
Pengemudi motor tersebut menghentikan laju kendaraannya. Dia membuka helm dan menoleh ke arahku, “ada apa?” tanyanya keheranan.

                Rasa maluku sepertinya sudah hilang dalam sekejap pada pagi ini. Aku menghampirinya cepat dengan mantap, naik ke atas motornya dan duduk di boncengan tanpa persetujuannya. Tolong antar aku ke SMA Panca Sejahtera dalam waktu kurang dari tiga menit, cepet yaa., please” desakku terburu-buru.. “

                Masih terheran-heran dan seolah-olah terhipnotis oleh kata-kataku, dia mulai memacu motornya dengan sangat cepat. Sepanjang perjalanan aku mengoceh untuk cepat, kupaksa dia menerobos lampu merah dan tak kuhiraukan klakson yang bersahut-sahutan, sesekali ku cengkram bajunya manakala motornya menderu cepat manuver ke kiri dan kanan, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, aku berharap-harap cemas agar selamat dan tidak terlambat sampai di sekolah. Tidak sengaja aku melihat bedge sekolah di lengan kiri cowok ini, SMA Bina Persada. Setahuku, SMA itu jauh dari sekolahku maka pantas saja dia sudah berangkat sepagi ini.

                "ckiiitt,,,.. jedug"
                 "aww" pekikku "woy, kalo ngerem jangan ngedadak dong" hardikku padanya. Ia terdiam dan menatapku dari balik kaca helmnya.

                Eh, ternyata aku telah sampai di depan gerbang sekolah, aku segera melompat turun dari motornya dan tanpa pedulikan dia sekalipun. Aku berlari masuk aaahh,, lega rasanya, beruntungnya diriku terhindar dari jalan jongkok dan squat jump. Aku berhenti sejenak, menarik nafas panjang dan berjalan perlahan, tinggal beberapa langkah lagi gerbang sekolah didepan mataku. ya ampun, oh Tuhan, aku ingat. Aku berbalik arah mengambil ancang-acang untuk berlari, aku kan belum tau siapa nama cowok tadi dan bahkan aku belum sempat berterima kasih, namun bersamaan dengan itu ada suara yang tidak asing memanggilku.

                “Giza, mau ke mana kamu? Ayo cepat, masuk ke barisan di lapangan. Upacara akan segera dimulai” Pak Wito yang terkenal sebagai "Satpol PP"nya anak-anak  mengagetkanku.

                “ta... tapi pak” jawabku terbata seraya celingukan mencari-cari.
                "ehh,, ga ada tapi - tapi, nyari apa kamu?? ayo masuk!!"
                "huft, oke pak" tertunduk lesu aku melangkah kaki kembali masuk.

                Upacara dimulai, aku tak tenang. sumpah. merasa bersalah, penasaran, kagum, dan entah apa yang aku rasakan saat ini, ku tatap langit pelan dan lambat,

                 "siapapun kamu, makasi yaa., " aku bergumam dan tersenyum pelan.

                Rupanya hari ini memang sangat bersejarah untukku, dari mulai terlambat bangun, menumpang dengan orang tak dikenal, lupa membawa dompet, dan tak berhenti sampai disitu karena hari ini adalah hari terakhirku di SMA Panca Sejahtera. Papaku dimutasi kerja oleh perusahaannya ke kota lain dengan kontrak yang cukup lama. Seperti biasa, aku dan mama harus pindah juga. Sedih rasanya meninggalkan kota ini, tapi akan lebih menyedihkan bila harus jauh dari papa. Lagipula ini bukan pertama kalinya aku pindah sekolah dan rumah untuk ikut papa bekerja di kota lain.

                Solo, kota tujuan kami selanjutnya, kota yang berjarak lebih dari 50 km. Di sana kami akan memulai hidup baru. Sekolah baru, lingkungan baru. Selalu Semangat.

***
04.00 am
"kriiiinngg...kriiiinng.....krriiiinng"
"hoaaheemm",
"kriiiinngg...kriiiinng.....krriiiinng"
"uughhh" aku menggeliat, melihat jam dan duduk, mendekap jam weker dan menekan tombol 'diam', ku lihat sekeliling, wajah-wajah lelap terhias disana, teman-temanku masih saja tertidur. aku bergegas, beranjak dari tempat tidur, mencari handuk dan berlalu kekamar mandi. aku harus mandi !



                Mengantar koran, sekolah, dan menjadi karyawan tukang bakso sangat menyita perhatian, tenaga dan waktuku. Pagi ini aku sudah rapih berpakaian sekolah, 04.45 am aku berperan sebagai loper koran., berkeliling komplek dengan motor badai pinjaman paman yang syahdu suaranya. kurang lebih 85 manusia baik hati yang setia menjadi pelanggan koranku. Aku bersyukur. walau terkadang melelahkan tapi inilah perjuangan. Hidup jauh dari Orang tua memang penuh perjuangan. Dengan Bismillah, kan kuhadapi dengan ikhlas dan tabah.

                "makasi ya pak, teh dan rotinya" ujarku tersenyum puas dan kenyang.
                "sama-sama nak, kapan-kapan mampir lebih lama ya." senyum pak Bambang

                Pak Bambang memang baik, setidaknya segelas teh hangat dan dua bungkus roti habis ku lahap. Baiklah. koran sudah habis dan saatnya berangkat ke sekolah. Baru sekitar beberapa meter aku memacu motor, tiba tiba...
               
                “STOP, STOP, STOP, STOOOOOP!”

                 Aku tersentak dan berhenti, menoleh pada sumber suara, berwajah melas, matanya indah, rambutnya tergerai panjang, dan dengan tiba-tiba berlari menghampiriku, melompat duduk dibelakangku, dan menepuk pundakku.

                 "Tolong antar aku ke SMA Panca Sejahtera dalam waktu kurang dari tiga menit, cepet yaa., please”

                  Suaranya keras dan cepat. Lagi-lagi aku tersentak, dengan terburu-buru pula aku melaju, berpacu dengan waktu, banting kanan-banting kiri, layaknya pembalap professional di MotoGP series, dan tanpa memperhatikan rambu. aku menembus waktu. sesekali kucuri pandang wajahnya dari kaca spion motor badaiku, dia cantik, aku mengagumi lukisan Tuhan pada wajahnya. Dia kelihatan cemas, aku tersenyum, ya Tuhaan, siapa nama bidadari ini? mimpi apa aku semalam? ingin rasanya ku berlama-lama dengannya. tapi celotehannya selalu memaksaku untuk memacu gas lebih kencang dan kencang, tapi apalah yang diharap dari motor butut.Sampai. Tepat waktu.

                  Tanpa ba bi bu lagi, dia melompat turun dan berlari, tanpa kata, tanpa nama, tanpa sapa, dan tanpa apa-apa, berlalu begitu saja. aku tersenyum simpul. mana ada bidadari jelita mau bersama dengan pengendara motor badai cetar membahana. hahaha., aku pergi. melaju menyongsong cita, rindu dan asa. ke Sekolah. Semangaat

***
            Sudah lebih dari satu bulan aku berada di Solo, entah mengapa aku masih belum kerasan berada di kota ini. Hatiku seolah tertinggal di suatu tempat, entah di mana dan mengapa. Ada suatu rasa yang menyeruak dalam batinku, yang seolah menuntun untuk kembali pada suatu masa. Rasa yang aneh, bahkan tak mampu kujelaskan apa dan bagaimananya, yang tak dipungkiri adalah semua terasa begitu kuat. Aku menghela napas panjang, mencoba untuk enyahkan pikiranku yang tak karuan. Pelarianku satu – satunya adalah langit malam, kuraih jaket dan dengan cepat aku berlari menuju halaman belakang.

            Aku tak pernah menyukai hidup berpindah – pindah tempat, layaknya kanvas putih dipenuhi warna warni cat yang menjadikannya terkesan norak. Tinta keseharianku bukan hanya goresan namun sudah menjadi lukisan abstrak yang tidak jelas titik awal dan akhirnya. Beruntung aku terlahir serta tumbuh dewasa di tengah keluarga kecil yang istimewa, sehingga pribadiku terbentuk fleksibel dalam hal apapun terutama beradaptasi. Kutatap langit malam yang dipenuhi ribuan bintang, lekat, sangat lekat tertangkap oleh retina mataku. Ini menjadi salah satu alasan terkuat untuk selalu menikmati hidupku, karena di mana pun kakiku berpijak dan melangkah, aku tetap dapat melihat pesona langit yang tak berbeda. Kondisi apapun, dengan siapa pun, jarak membentang sejauh apapun, semua insan berada di bawah cakrawala yang sama.

“Bintang, kau tau, aku masih mengagumimu. Meski aku tak lagi menjadi anak kecil, aku tetap mengagumimu” ucapku lirih.

            Tiba – tiba ingatanku melayang pada seseorang, sosok sederhana namun mampu mencuri perhatianku. Pagi itu, pertama kali aku melihat sorot matanya yang dipenuhi ketulusan. Ingin rasanya membuat putaran waktu bergerak mundur, mengizinkan aku untuk mengenalnya, paling tidak memberikan kesempatan padaku untuk berterima kasih. Aku berharap kelak dapat bertemu dengannya lagi, meski aku tak ingat jelas wajahnya yang tertutup helm, tetapi aku ingat sebentuk cahaya dalam sorotan matanya. Tatapan yang hanya sekilas namun terekam dan menempati celah khusus dalam memori otakku. Aku rindu pemilik sepasang mata itu, andai saja ia tau ada setangkup rindu untuknya.

            Tersadar dari lamunanku aku tersenyum, bergumam, “bintang, sampaikan salam dan terima kasihku untuknya”.

***
            Aku menghempaskan tubuh di kasur, rasanya tulang – tulangku remuk seketika. Aktivitas hari ini sangat menyita waktu, hingga rasanya untuk bernapas menghirup udara segar saja hampir tak bisa tapi aku senang. Banyak sekali pelanggan bakso tempatku bekerja hari ini. Ingin secepatnya terlelap dan terbangun menyambut akhir pekan dengan penuh semangat, namun sepertinya aku tak terlalu mengantuk. Mataku belum ingin terpejam, mungkin aku masih akan tetap terjaga dalam beberapa jam ke depan. Kuputuskan untuk sedikit menyapa malam yang sepertinya cerah, kubuat secangkir kopi untuk menemani sejuknya udara malam. Ku buka lebar jendela kamar, ku biarkan mataku menelanjangi lukisan malam.

Aku memekik kagum menyaksikan ini, “wooww, bintang – bintang sedang ceria rupanya. Langit ramai bak taman yang di penuhi ribuan bunga yang indah”.

Seketika aku teringat sesuatu  yang tak akan pernah luput dari otakku. Oh, peristiwa itu, saat mata kami bertemu, seketika pula aku merasa ada perasaan yang tak biasa menjalar dalam aliran darahku. Rasa kagum kah itu, kurasa bukan, mungkin lebih dari sekedar kata kagum kepada sosoknya yang rupawan. Aku menemukan kedamaian dari sinar matanya yang penuh keluguan, tetapi sangat jelas tergambar dari garis tatapannya bahwa dia tegas. Ingin rasanya kembali bersua dengannya, bahkan jika mampu akan kuhentikan waktu kala itu agar aku dapat lebih lama bersamanya. Aku ingin lebih lekat menatap matanya, mendengar suaranya, merasakan erat genggaman tangannya pada bajuku, bahkan lambaian rambutnya yang diterpa angin pun kurindukan.

Masih dan masih pikiranku melayang jauh tentang dirinya, mungkinkah pertemuan sekejap itu mampu menumbuhkan rindu yang begini hebatnya. Aku tak pernah mencoba membuktikan kebenaran filosofi ini, namun rasanya aku mulai memercayai kalimat “jatuh cinta pada pandangan pertama”. Bicara tentang cinta, aku bukanlah ahlinya dalam bidang yang satu ini. Bagiku, cinta bukan hanya sekedar kepingan rasa yang tumbuh untuk kemudian diteruskan dan dikemas dalam keterkaitan hati sepasang insan. Sejenak aku tersenyum geli menengok diriku saat ini, terlalu belia rasanya aku mengenal rasa yang sakral itu. Aah, entahlah, aku tak peduli dengan apapun definisi dan teorema yang dilontarkan untuk membuktikan satu kata penuh makna tersebut. Tak tau kelak ataupun dulu, yang ku tau saat ini hanyalah aku sedang disapa sebuah perasaan, entah cinta atau apapun sebutannya, yang jelas aku merindukan bidadari itu.

“Woy bro, daritadi gue liatin lo senyum – senyum sendiri. Wah, ngelamunin apa lo? Jangan – jangan lo tadi abis kesambet ya sampe jadi kayak orang gila begitu” secara tiba-tiba, Andi, teman dekatku nyaris membuat jantungku terperosok dari tempatnya.

“Lo tuh nanya, atau mau bikin gue berhenti hidup? Nanya kok kayak petasan hajatan, tar ter tor” jawabku dengan nada ketus.

“Ha ha ha, iya maaf, lagian lo malam – malam gini melamun kayak orang lagi nunggu wangsit aja. Bagi – bagi cerita dong, biar gue gak penasaran”.

            Aku diam menatapnya lama. Akhirnya kutumpahkan juga semua perasaan yang mengganjal di hati kepada temanku ini. Aku mulai bercerita panjang kali lebar, barat ke timur, A sampai Z kepadanya. Dia mendengarkan ceritaku dengan seksama tanpa protes, dan hanya anggukan kepala seolah mengerti yang berkali – kali dilakukannya. Setelah entah berapa lama aku bercerita, sampailah juga aku pada tanda titik wacana yang indah itu. Masih tak ada kata – kata yang keluar dari mulut temanku, ayolaaah, aku menunggu reaksi minimal berupa sepotong kalimat.

“Kenapa lo gak berusaha nyari cewek itu, ya siapa tau aja lo beruntung bisa ketemu lagi atau bahkan bisa kenal lebih dekat” ucapnya santai.

            Entah mengapa otakku agak lambat mencerna pendapat temanku ini, aku terdiam sejenak menatap kosong dedaunan yang tergeletak di tanah. Oh, bodohnya aku ini, seketika aku mengerti apa yang harus kulakukan seolah menemukan titik terang dalam gulitanya lorong labirin. Aku bangkit dari dudukku, menengadah dan tersenyum pasti kepada langit. Aku menepuk pundak temanku dan mengacungkan ibu jari padanya, kemudian aku beranjak pergi meninggalkannya yang masih terbengong – bengong melihat tingkahku.

                Di balik selimut, aku bertekad kuat dalam diri bahwa akan mencarinya dan yakin untuk menemukannya. Perasaan ini memang bukan hanya untuk dibiarkan, namun juga untuk diperjuangkan hingga akhirnya akan diketahui titik ujung dari goresan tinta yang diukirkan. dan dengan sebuah harapan aku pasti bisa bertemu lagi dengannya.,

"gadis manis berambut indah, tunggu aku ya, mimpikan aku"

**** 
                 Aku sudah cukup familiar dengan lingkunganku, mulai dari Pak Amran, tukang bacang yang selalu keliling komplek kami tepat pada jam 06.00, bacangnya sungguh lezat, selalu baru dan segar, tampaknya bacang Pak Amran selalu habis, jika aku sedang terburu-buru, Mama akan beli untukku dan bekalku kesekolah, dan aku menikmatinya, lalu ojeg langgananku Pak Cipto, orangnya baik sekali, ramah kepadaku Dia selalu bercerita manakala mengantarku ke sekolah, aku senang, setidaknya aku mendapatkan wawasan dan ilmu baru dari cerita-cerita Bapak umur 50an yang ku hormati ini.

                 Kota Solo memang sangaat ramah, penataan kota yang menawan, orang-orang yang sentiasa menebar senyum, 'kita adalah keluarga' mungkin ungkapan itu yang tersirat dari senyum tulus bibirnya, Guru disekolah dan teman-temanku pun sangat ramah., hampir semua teman sekelasku menjadi teman baik, selalu mencoba untuk menyediakan waktu ketika ada diantara kita yang membutuhkan, yah memang, sangaat berbeda sekali dengan kota Bekasi, tempatku dulu, ugghh,, benar-benar, mungkin senyum amat mahal disitu., mungkin orang akan ditembak mati jika tersenyum, atau mungkin orang akan saling bunuh gara-gara tersenyum. Begitulah, senyum mempunyai makna sesuai dengan kondisi lingkungan dimana kamu berada.

                Minggu besok sudah ku rencanakan, dan ini rencana yang penuh resiko, hehe, ku paksa mama mengizinkanku untuk berkunjung ke Bekasi, kerumah Wanda, teman sekelasku yang sangat akrab denganku, kami sudah merencanakan hal-hal yang akan kami lakukan selama aku diBekasi, dengan gaya presentasiku yang merajut hati, mamapun mengiyakan, kuhubungi Wanda dan let's pack, Bekasi, i'm coming.

***

Hari yang cerah, memang cerah,, sangaat cerah malah, Matahari sungguh terik bersinar garang pada kota rantauanku, Bekasi, panas memang, suasana kelas memang gerah, penjelasan guru menambah gerah yang kami rasakan, ku angkat tanganku tinggi-tinggi, seketika Pak Wira terdiam dan menatapku.

                "kenapa lang?." suara kerasnya hampir melucuti keberanianku.
                "ma'af pak, permisi, saya udah kebelet" gelagapan suaraku yang tertahan.
                "tahan aja, penjelasan bapak belum selesai"
                "tapi pak.....,," aku meringis
                "berhenti bohong, udah tahan aja"

                 alih-alih aku menurunkan tanganku dan kembali merangkum apa yang dijelaskannya, aku melompat dan berlari keluar kelas, kamar mandi tujuan pertamaku, kelas tersontak, hampir saja, kapur ditangan Pak Wira yang melayang mendarat dikepalaku, uughh,, selamat, haha., berat atau ringan hukuman nanti tak ku ambil pusing, huufft, lega rasanya, 5 menit lamanya aku berada dikamar mandi, sambal buatan Mak Ijah, tukang nasi uduk depan kosku memang amat sangat pedas sekali pagi ini, setidaknya perutku melilit menahan pedas, dan sudah cukup lega sekarang.

                Meninggalkan kelas Sejarah bukanlah kebiasaanku, tapi untuk kali ini dan hanya hari ini dan aku berjanji, sekali inii sajaa, kan ku habiskan 15 menit waktu belajar Sejarahku untuk duduk tenang di Warung Pojok Komplek Sekolah ku SMA Bina Persada, sekolah yang cukup besar, jadi, walaupun 'nongkrong' di jam pelajaran, staf Warung Pojok tak akan ada yang menegur, begitulah sekolah ini, cukup mengasyikkan. Mungkin mereka sudah sangat bosan melakukan hal-hal yang tak menguntungkan Warungnya hahaha., sedikit rusak memah disini, tapi, setidaknya aku bertahan dari kerasnya lingkungan sekitar.

               "anjrit lu, kabur ga ngajak-ngajak, kemana aje lu? baru disini?" Andi bersorak senang, melihatku, temanku yang satu ini cukup ceria dan selalu ceria.
               "tau niih, orang mah tungguin kita kek" Raja menyusul, dia berbadan kekar dan memang atlit sepakbola.
               "bisik lu ah, gw tadi kebelet berak tau, makanya gw buru-buru" jelasku sedikit cepat.
               "ngelamun lagi?" tanya raja.

Aku terdiam.,

               "Weekend ikut kita yuk bro?" berbarengan Andi dan Raja bersuara lagi.
               "Kemana?"  ak tak bernafsu menjawab
               "ke Permata Gading, Bekasi Timur"
               "hm., traktir gw ya.,?" ak tersenyum sedikit
               "hahah beres bos" dan kita tertawa bersama.
***
Minggu, 07.00 di Stasiun Gambir
            “Giza, Giza, gue di sini” aku menoleh ke arah sumber suara yang berteriak memanggil namaku berulang – ulang. Kulihat sosok Wanda melambaikan tangan sambil berlari ke arahku. Aku membalas lambaian tangannya sambil tersenyum senang, dan kami pun saling berpelukan melepas rasa rindu yang selama ini hanya terbayar melalui alat komunikasi.
            “Hai, lo makin cantik aja sih, Solo punya cuaca yang cocok ya buat perawatan wajah dan rambut? Gimana di sana, lo kan selama ini bilang banyak cerita yang mau lo dongengin ke gue kalo kita ketemu, ayo cerita, gue kangen banget nih sama lo ” Wanda menghujaniku dengan rentetan pertanyaan dan sepertinya dia terlalu bersemangat hari ini.
            “Hahaha, lo tuh ya, kebiasaan deh setiap nanya borongan kaya gitu. Sabar dong, kita masih punya ribuan detik bahkan menit buat berbagi cerita” jawabku seraya menyubit pipinya.
            Kami pun segera meluncur ke rumah Wanda, yang jaraknya lumayan jauh dari stasiun. Sepanjang perjalanan, kami tak henti berbagi cerita dan pengalaman satu sama lain, inilah yang selalu kami lakukan saat bertemu, tak pernah habis hal yang kami bicarakan. Sekilas aku menatap pemandangan kota Bekasi melalui jendela mobil Wanda, tak banyak berubah pikirku, masih sama seperti saat dimana aku tinggal di sini beberapa tahun silam. Kota ini menyimpan banyak kenangan, mencatat ribuan kisah hidupku dalam setiap detiknya. Karena dari sekian banyak tempat yang kusinggahi, Bekasi merupakan persinggahan terlama untuk keluargaku, selama 4 tahun sejak aku awal SMP.

***
               Minggu tiba, Pagi ini sedikit dingin, angin menderu dari balik jendela, rintik-rintik hujan terdengar samar, Gerimis mungkin diluar, sudah jam 04.00 tak perlu mengantar koran, tak perlu pergi kesekolah, hari ini libur. hahaha, libur singkat yang cukup menenangkan hati, hehe. hari ini sudah janji dengan Andi dan Raja untuk pergi ikut mereka, otomatis aku harus bicara dulu dengan Pak Bejo Pemilik Kedai Bakso tempatku kerja separuh waktu, tempatku menambah uang jajan, ya, Pak Bejo yang baik sangat baik.

               Baiklah, mari mulai rutinitas, membangunkan Gian, Pria dewasa yang bekerja di sebuah Perusahaan, sebagai operator, satu kos denganku, ku bangunkan dia, mengajak dia sholat dan mulai bersih-bersih rumah kos yang kami tempati. Lalu mandi, berganti baju, dan membeli beberapa gorengan diujung gang sana, untuk kami santap bersama dengan teh manis, aahh,, nikmatnya pagi ini, kulirik jam dinding yang tergantung tenang didalam kos kami, setengah jam lagi raja dan andi akan menjemputku, lalu kami akan segera meluncur ke Permata Regency, ke rumah sepupunya raja, banyak hal yang bisa kami lakukan disana, bermain video game, berenang bersama, nongrkong ditaman, dan banyak lainnya.


              "tin, tin, bro, c'mon, let's go"


              itu dia mereka, suara-suara yang tak asing bagiku, raja memang sudah pandai menyetir, perjalanan cukup lancar pagi ini, setidaknya 15 menit mengantri dilampu merah, itu belum terlalu lama, biasanya hampir 30 menit bahkan 45 menit mengantri di lampu merah kalimalang. Memang sudah sangat banyak dan bahkan padat penduduk yang berlalu lalang di Jalan Utama Jakarta - Bekasi ini.

              "ups, tunggu bentar bro," Raja meminggirkan mobilnya di bahu jalan.
              "kenape lu?" Andi bertanya
              "Lang, beliin filter aquarium dong, papa gw mesen tadi" raja mengeluarkan uang dan memerintahku.
               " ok, ok," aku turun dan berusaha untuk menyebrang secara hati-hati.

               perlahan, ku tengok kanan kiri, semua mobil berpacu waktu,ah, dasar manusia, apasih yang akan kalian lakukan saat ini, terpikir padaku suatu hari nanti jalanan ini akan sangaat sepi, tenang dan tak berisik lagi, tenang dan terkendali, hahha, aku tertawa dalam hati, mungkin itu hanya akan terjadi pada alam imajinasi, pada dunia pemimpi. Sambil berlalu perlahan, aku tengok kanan kiri, dan yup, aku berhasil sampai kesebrang, membeli hal yang diperlukan dan berlari kecil untuk kembali ketempat semula. Tiba-tiba

               "jedaam, brugh, tiiiinnnn"

               
                Oh tidak, malang sekali nasib tukang gorengan itu, tepat diseberang jalan dari tempatku berdiri sebuah mobil mewah dan mahal menurutku, menabrak kakek tua penjual gorengan yang malang, ringsek sudah, seperti biasa, jika ada sesuatu yang terjadi, terlebih lagi di pinggir jalan, tak ayal, semua orang kan melihat, mengerubungi dan berkomentar, layaknya lalat-lalat yang mengerubungi sekumpulan sampah. hahaha kejam ya.
               
                Dua orang keluar dari mobil itu, mungkin itu pengemudi dan penumpangnya, mereka wanita, mereka terlihat kebingungan, dan kemudian mereka terlihat berbicara dengan pak tua, mungkin ingin mendapatkan kesepakatan perdamaian, semoga saja,. Tunggu sebentar, rasanya aku tak asing dengan wajah salah satu dari mereka, untaian rambutnya yang panjang, gayanya ketika berjalan, ahh tak salah lagi, itu dia, itu dia, tanpa dikomando pun, aku bergegas untuk menghampirinya, tengok kanan kiri, segera siap berlari, baiklah, aman sudah,.

                "woy, ayo cepetan, malah bengong disitu" suara raja mengagetkanku. Dia sudah berdiri 5 cm didekatku dan menahan lenganku untuk tidak berlari menghampiri sang gadis pujaan hati.

               "bentar ja, mau nyamperin itu cewek dulu" aku sedikit memelas
               " yang mana sih??" raja penasaran
                "itu tuuh, yang pake dress warna ijo, itu tuh, yang rambutnya ga dikuncir" aku menunjuk-nunjuk kesana.
                "ya elaah, udah ntar aja, keburu siang ni kita, biarin aja dia, lagian kayanya lagi sibuk tuh" Raja menyeretku kemobilnya.

               aku menurut, mengangguk mantap dan membiarkan langkah dan pandanganku meninggalkan dia, tak kusangka dan siapa sangka, ternyata setelah beberapa lama, aku bisa bertemu lagi, bisa melihat wajahnya, rasanya sangat tidak berperasaan, aku telah meninggalkannya, aku yakin, dia pasti butuh bantuanku. aku semakin bersemangat.

               "Tunggu yaa duhai bidadari ku, aku yakin, aku pasti akan menemukanmu, tunggulah, kita pasti bertemu, tunggulah" dalam hati aku berdo'a

***
ya, tidak salah lagi, itu dia, Tukang Ojeg dadakan, Pemuda yang kurepotkan dengan desakanku, pemuda yang kutinggalkan begitu saja, aku belum mengenalnya, aku berteriak histeris gembira manakala aku benar-benar yakin bahwa itulah dia, ya, aku menyenggol wanda yang sedang menyetir, meminta sedikit perhatiannya untuk melihat pemudia itu, wanda tersenyum senang, dia pun memperhatikan sedemikian rupa, kita sama-sama memperhatikannya, berdiri di pinggir jalan, mungkin menunggu seseorang, memegang bungkusan sedikit besar, habis belanja mungkin yaa, candaku pada wanda, wanda tersenyum sambil terus memandang pemuda itu,
               "caem juga za tu cowok" suaranya terdengar perlahan dan jelas.
                "hahaha caem ya?" aku tertawa riang.
               "buat gua aja ya?" wanda memandangku tersenyum genit.
                "enak aja lo"

 Wanda tersenyum nakal.
                
               "jedaam, brugh, tiiiinnnn"

kejadian ini begitu cepat, kami tak sadar ternyata posisi mobil wanda sudah terlalu masuk bahu jalan, oh Tuhaan, kasian sekali Pak Tua dan gerobak dagangannya, betapa tidak, Gerobak yang tak berdosa itu kini tertidur kaku di bahu jalan yang dingin, gorengan yang sudah siap konsumsi berhamburan dijalanan, minyak penggorengan yang juga membanjiri jalan dipagi itu, miris aku melihatnya, kacanya pecah, rodanya penyok membentuk angka 8, aku menarik nafas panjang bersiap untuk menghadapi ini dan wanda, pun dia juga begitu, dalam beberapa menit, kami bak artis yang sudah tersohor belasan tahun, puluhan warga mengelilingi kami, melihat, bertanya, berkomentar, mengambil foto dan lain sebagainya.

                "kasian ya pak tua itu"
                "ga punya mata apa ni yang nyetir mobil"
               "belagu banget, mentang-mentang orang kaya"
                "zaman sekarang orang miskin selalu tertindas"
               "cantik-cantik tapi ga punya mata"
                "geser-geser dong, gw mau liat"
              
                dan masih banyak lagi dengungan-dengungan yang menjemukan terdengar olehku. dengan sigap, ku bantu pak tua untuk duduk, sepertinya ia shock, mungkin sudah belasan tahun ia menjual gorengan, begitu terperangahnya dia, ku ambilkan sebotol air mineral dimobilku, ku minumkan pada pak tua.

                "kek, kakek ngga kenapa-napa kan.?" aku bersuara perlahan.
               "............" kakek terdiam ternganga, seakan belum percaya dengan apa yang menimpanya pagi ini.
               "Astaghfirullah" kakek bersuara juga, sambil mengelus dada.
               "hm, kek, maafin aku ya, aku ga sengaja nabrak kakek, aku mau tanggung jawab" Wanda menghampiri kakek sambil menangis.
               "iya kek, kami minta maaf ya, kami ganti semuanya" aku menambahkan.

               kakek itu memandang kami bergantian, mungkin karena melihat kesungguhan kami, dia pun mengangguk dan memaafkan kami. alhasil, seluruh gorengan yang sudah masak dan ada disitu dibungkus dan dibawa pulang oleh kami, semua uang tunai yang ada didompet ku dan wanda seluruhnya diberikan pada sang kakek, senang sepertinya dia, berkisar hampir 4 juta rupiah. Ia tersenyum dan berterima kasih pada kami.
kami melanjutkan perjalanan bemper mobil sedikit bercorak sekarang, ada gores-gores tajam hasil benturan dengan gerobak kakek tua penjual gorengan., biarlah.  
           
               "huuuuuhh, apes dah gw, gara-gara ngeliat cowo kece jadi gini.!" wanda bersuara gaduh terkekeh-kekeh-menggodaku.
               "haha, sialan lo, tapi habis dah uang gw, mampir ke ATM ya," aku memintanya untuk menepi sebentar.
               "iya, iya, gw juga sekalian, semoga jadi berkah dah buat si kakek, btw di gorengan mau diapain?" wanda mengernyitkan alis dan dahinya.
               "mmm.,, nanti kasih aja kalo ada orang yang minta-minta di jalanan"
               "ooh, ok ok ok"

               aku disambut hangat oleh mama wanda dan mbok ijah, pembantunya. nyamaan sekali rasanya hadir kembali disini, hmm, harum aroma ikan bakar sudah menebar di area ruangan tempatku berada, wanda mengerti, dan dia pun mengajakku tuk santap siang., aah, nikmatnya.

                "dasar cowook, hari ini kamu udah bikin ancur gerobak gorengan, gemes tau ga,  siapa sih kamu? dimana sih kamu tinggal?" aku mengenggam erat-erat pisau dan garpu dikedua tanganku. kalo ketemu nanti biarin aja, ku gatakin kepalanya. dan aku tersenyum.

*****
                "Bapak dan Ibumu baik-baik aja le, Alhamdulillah" 
               Pamanku yang sengaja mampir ke kosku membawa kabar yang cukup gembira. Sambil menyantap hidangan malam yang memang dengan sengaja dimasak sendiri olehnya,  Dia menceritakan banyak hal menakjubkan yang ingin langsung kurasakan, aku ingin pulang, ingin melihat secara langsung, adikku yang sudah bisa berenang sekarang, ingin merasakan secara langsung sejuknya saung bambu yang dibangun warga desaku, ahh, cerita paman benar-benar luar biasa, aku takzim mendengarnya, pamanku memang pandai sekali bercerita. sesekali aku mengangguk dan mengacungkan tangan untuk bertanya, hahaha, teman sekamarku pun begitu antusias mendengar cerita tentang desa asriku.Desa yang sangaat kucinta.Desa yang jaauuh dari polusi udara, polusi suara dan limbah lingkungan. 
Desa ku yang kucintaaa
pujaaan haatiikuu,
 tempat ayah dah bunda
dan handai taulanku,
tak mudah kulupakan
 tak mudah bercerai
selalu ku rindukaan
Desa ku yang permai.

             kami bernyanyi, perpaduan suaraku, pamanku dan bang Gian hahaha, mungkin yang mendengarnya akan langsung menutup pintu dan jendela telinganya rapat-rapat.
             
             "sesok anter aku neng stasiun yo.?" pinta pamanku
             "stasiun mana le'?"
             "stasiun gambir ae, ok, tak turu ndise', ngantuk ak"

Paman tertidur lelap, pun begitu dengan bang Gian, sementara aku melamun, bermimpi atau bercita-cita, aku tak mengerti, yang jelas aku ingin pulang, Bapak Ibu pasti senang. ah, gadis itu, seandainya saja gadis kota itu bisa menikmati desaku, ak optimis, dia akan jauh lebih senang dan lebih tenang, tak perlu bentrok dengan kemacetan ataupun tukang gorengan, hahaha., aku geleng-geleng kepala sambil tertawa., dan segera berusaha menutup mata tuk bisa bermimpi semua asa tentangnya.
            
****            
             Sepulang sekolah, aku segera meminta izin untuk tidak hadir melayani pelanggan-pelanggan setia penikmat Bakso sore ini, karena aku harus mengantarkan pamanku ke Stasiun Gambir, beliau akan melanjutkan perjalanan ketempat beliau kerja. melaju dengan motor badai yang tersedia, perlahan tapi pasti kami melenggak-lenggok melewati tumpukan kendaraan yang tumpah ruah di jalanan.

             Kurang dari 45 menit, kami tiba, ramai tapi tertib, suasana dalam stasiun, aku ikut mengantri tuk membeli karcis, sementara pamanku duduk tenang di bangku penumpang, mataku nanar melihat sekeliling, banyak sekali terpampang spanduk-spanduk Bahaya Narkoba, Waspadalah, Berhati-hatilah, dan himbauan-himbauan dari Polri Setempat, terlihat juga olehku petunjuk-petunjuk yang terpasang lucu didekat pintu dan sekitarnya, "Pintu Masuk", "EXIT", "TOILET" dan masih banyak lagi, hingga pandanganku terpaku, aku fokuskan lensa mataku, ah, tidak salah, tidak salah lagi, gadis itu, berdiri di pinggir rel kereta, sedang tertawa bersama dengan temannya, ah, aku ikut tertawa, setidaknya aku bisa menghampirinya sekarang, menyapa dan bertanya, siapa namanya? dimana tinggalnya? dan bilang padanya bahwa senyumannya selalu terbayang di pelupuk mata, berdansa ria menorehkan tinta cinta.

****

Deru deram suara mesin kereta api menyergap ke sunyinya relung hatiku. Berat, belenggu itu yang kurasakan menyelimuti langkahku. Kutatap kerikil yang membisu 

#to be continue

Tidak ada komentar: