Dunia
hanyalah sebuah permainan, yang dimainkan jutaan pemeran, sebuah
skenario agung dari khayangan, yang dibuat untuk sebuah perjalanan,
diakhiri dengan kehancuran, yang menghasilkan siksaan, berbuah
kebahagiaan, hanya ada dua pilihan dalam berjuta perjalanan, benci dan
cinta hanyalah hiasan, sekedar warna dalam kehidupan, tertawa dan
menangis adalah ujian, untuk mencapai sebuah kesempurnaan, pujian dan
hinaan adalah rintangan, yang harus dihadapi dengan ketegaran, seolah
melakukan pelarian, terperosok ke jurang perjuangan, namun hanya Allah
yang menentukan, hingga dinobatkan para pemenang kehidupan.
Manusia
memiliki kelemahan, aku adalah manusia yang hidup dengan segala
kelemahanku. Apa yang terjadi kalau manusia tidak mempunyai kelemahan.
Kelemahanku terkadang membawa kehancuran dalam diriku sendiri. Kelebihan
ada juga dalam diri manusia, apakah kelebihan itu akan selalu
membahagiakan? Oh tentu tidak, terkadang kelebihan itu melenakan. Aku
hanya seonggok daging yang diberikan kehidupan oleh Allah. Aku hanya
manusia yang bisa menjalani dan berusaha menggapai impian yang aku
gantungkan, hari ini aku merasa terpuruk dengan segala kelemahanku.
Dikala dawai tasbih dilantunkan, di hari Al-Qur’an diturunkan, membuat
sesak ulu hatiku. Jantungku serasa berhenti berdetak, pengap serasa aku
berada dalam ruang kosong sepi menantikan sebuah cahaya untukku. Malam
ini lebih kurang satu tahun aku terpuruk dalam kesedihan itu.
Namaku
Shaula Salsa Ramadhani, orang menyapaku dengan nama Shaula, memanggil
nama depan tidak asing terdengar di seluruh penjuru. Tapi tidak untuk
mereka berdua, Indra dan Sherly. Ya, mereka adalah sahabat kecilku yang
biasa menyapaku dengan nama cacha. Sahabat kecil yang amat aku kasihi
melebihi diriku sendiri. Aku berasal dari sebuah keluarga berada, yang
serba berkecukupan. Aku adalah pewaris tunggal orang tua ku. Papaku
adalah seorang direktur perusahaan perkapalan “PT Pantja Pranidana
Putra”, perusahaan persero terkemuka di kota Surabaya. Terlahir dari
keluarga yang agamis, tidak membuatku tinggi hati dengan harta benda
yang dimiliki keluargaku. Papa n mama selalu mengajarkanku untuk
berbagi. Segala yang dimiliki hanyalah sebuah titipan illahi, yang tidak
pantas kita banggakan karena hanya Allah Tuhan Yang Maha Kaya di jagad
raya ini.
17
Ramadhan 19 tahun silam, aku terlahir ke dunia ini. Berada di tengah –
tengah keluarga yang menyayangiku. Sungguh indah bukan menjadi aku, tapi
siapa yang akan menyangka kalau aku adalah orang yang sama sekali tidak
bahagia. Sejak saat itu. . . . .
****
Hari
ini, ketika sang raja siang bersahabat kepada semua insan karena
menghangatkan jiwa. Aku sedang asyik memperhatikan bunga mawar di
pinggir taman komplek tempat tinggalku. Saat ingin menyeberang, tiba –
tiba. . . .
BRAAAAKK !!!
Seorang laki – laki yang kira – kira sebaya denganku menabrakku dengan sepedanya. Kemudian ia turun.
“Duh, maaf ya, rem saya tadi blong, kamu gak apa-apa.” katanya
“Iya ga apa-apa ko, aku juga kurang hati-hati.” Jawabku
“Iya, maaf ya.”
“Aku ga pernah lihat kamu sebelumnya, bukan orang komplek sini ya?”
“Iya,
aku Indrawan Rangga Fadilah Syaputra, panggil aja Indra. Aku sekarang
tinggal disini, di rumah yang ujung jalan sana.” katanya sambil menunjuk
ke blok rumah Sherly.
“Ooohh,
udah kenal sama Sherly? Sebelah kiri rumah kamu. Oh iya aku Shaula
Salsa Ramadhani, panggil aja Shaula. Rumah ku di blok belakang rumah
kamu”
“Udah
ko, kebetulan kemarin dia yang nunjukkin rumah ketua RT ke ibuku. Ya
udah sekarang aku mau bawa sepeda ku ke bengkel depan dulu ya, kapan –
kapan kita sambung lagi.”
Sambil
membawa mawar yang merah merekah, aku pun bertandang ke rumah Sherly.
Dia sahabatku sejak kecil. Cantik, periang, dan humoris.
“Assalamu’alaikum. . Hai, orang cantik datang berkunjung, hehehehe”
“Wa’alaikumsalam, , Kamu Cha, dasar. Celanamu kenapa sobek begitu?”
“Oh, itu tadi ditabrak semut.”
Sherly menyernyitkan dahinya, “Cacha, serius dong.”
“Hahahaha, ketabrak sepeda tadi. Itu lho, tetangga baru kamu.” aku menoleh ke arah rumah Indra.
“Oh, Indra ta? Dia seumuran lho sama kita. Hayo, naksir pada pandangan pertama yaa?”
“Ih apa sih kamu ni, aku mau nawarin dia jd sahabat kita. Di komplek ini kan yang sebaya cuma kita bertiga.”
“Ide bagus tuh, boleh boleh.”
“Okee, udah ah aku pulang dulu yaa, nih mawarku buat kamu lagi. Cepet sembuh yaa. Assalamu’alaikum. . .”
“Wa’alaikumsalam neng cantik. Makasi yaa.”
Semenjak
Sherly divonis mengidap leukemia, dia berubah. Tidak ceria, tidak
periang, suka menyendiri, dan tidak bersemangat. Andai ada yang bisa
mengembalikan sahabatku lagi seperti dulu, aku akan sangat senang
sekali.
Aku, Indra, dan Sherly pun bersahabat. Kami saling menyayangi, dan hal ini memperlengkap kesempurnaan yang kumiliki.
****
Di
suatu malam cerah, titik – titik kecil di langit menemani bulatan putih
menambah keindahan alam jagad raya ini. Malam ini adalah pesta ulang
tahunku, semua teman sekolah, keluarga besar, tak lupa Sherly dan Indra
hadir ke rumahku. Malam ini malam bahagiaku, dimana usiaku genap 17
tahun. Kata orang, sweet seventeen adalah usia terindah dan wajib sekali
dirayakan. Namun, bukan karena perayaan ini aku bahagia. Aku bahagia
karena aku berada di tengah – tengah mereka yang mengasihiku.
Sambil
memejamkan mata dan hatiku berkata, “Ya Allah, jangan pernah pisahkan
aku dengan mereka semua. Aku sayang mereka, di usia ku ini pula aku
berharap agar Sherly dapat lepas dari penyakitnya.”
****
Keesokan
harinya aku rekreasi dengan keluargaku, kelurga Sherly, dan keluarga
Indra. Kami menikmati Wisata Bahari di daerah Lamongan. Setelah
menghabiskan waktu seharian, kami pulang ke Surabaya.
“Kamu
naik mobil Sherly aja ya, papa dan mama kan bawa barang banyak.
Sekalian kamu menghibur Sherly, kepalanya mulai pening nak. Papa janji
kami akan sampai rumah pukul 12 malam.” ujar papaku
“Oh
iya, kalau kamu sampai duluan, kamu dirumah Indra aja ya. Papa dan Mama
mungkin agak terlambat pulang. Jangan ngerepotin ibunya Indra ya, mama
udah nitip kamu ko tadi. Love you my princess.” pesan mama
“Siap ratuku dan rajaku, hehehe.”
Aku bahagia sekali, “Ya Allah, sayangi papa dan mama selalu.” doaku
Tapi,
bukan itu jawaban dari doaku. Ketika sampai di rumah Indra, aku
mendapat kabar dari polisi bahwa orang tuaku mengalami kecelakaan dan
nyawanya tidak tertolong. Bagaikan disambar petir, aku terpaku dan lalu
tak sadarkan diri.
Ketika
sadar, air mataku tumpah menyaksikan dua orang yang amat aku cintai
terbujur kaku dibalut kain kafan ada di hadapanku. Aku tak sanggup, aku
tak siap kehilangan mereka.
“Papa,
Mama, bangun. Kalian ga boleh tidur terus, bangun. Papa dan mama janji
kan, akan akan pulang jam 12, ini udah jam 1. Kalian harus bangun!”
“Ndok,
sudah sudah, jangan gelapkan jalan orang tuamu dengan tangisanmu. Allah
saying mereka, sudah ya. Masih ada ibu dan yang lain.” Ibu Indra
menenangkanku.
Semenjak
kepergian orang tuaku, aku tinggal di ruamah Indra. Ibunya amat
menyayangiku, tapi trauma itu masih membayangiku. Aku berubah, seratus
delapan puluh derajat. Aku setiap hari menyendiri sambil memegang foto
orang tuaku. Nilai raportku menurun, dan bahkan aku nyaris tidak lulus
ujian akhir.
****
“Mau ikut ke rumah sakit Cha? Tadi Sherly pingsan, dan dibawa ke rumah sakit oleh orang tuanya.”
“Iya, aku ikut ‘ndra. Tunggu bentar ya, aku mau ke taman. Mawar, aku mau bawain bunga mawar. Sherly pasti seneng banget ‘ndra.”
Setelah
memetik mawar, Indra dan aku pun membeli karangan mawar pula untuk
Sherly. Sesampainya di rumah sakit, orang tua Sherly diam tidak menyapa
kami. Pasti mereka sedih karena anaknya kritis di ruang ICU.
Dokter
keluar ruangan, dan berkata bahwa nyawa Sherly tidak dapat
diselamatkan. Duh Ya Allah, berat cobaan-Mu. Setelah Kau ambil orang
tuaku, saat luka ini mulai mongering Kau ambil lagi sahabat tercintaku.
Dalam kurun waktu kurang dari setahun Kau ambil semua Ya Rabb.
****
Berderailah
air mataku kembali malam ini, di malam Nuzulul Qur’an hari dimana
biasanya di rumahku ramai memanjaatkan doa sekaligus merayakan
berkurangnya kontrak hidupku di dunia ini. Tapi kini semua telah tiada,
sepi. Rasanya baru kemarin aku ucapkan cinta, baru saja sayang meluncur
dari bibirku, sedetik lalu aku mencumbu kasih pada mereka, mereka
berlalu dari wajahku, menghilang dari pikirku, padahal semenit lalu aku
mendekap hati mereka, tak lepas erat ku pegang sanubari biru, rasanya
lenyap tak berbekas, lepas….., menghilang terbang semua sayang, rasanya
baru kemarin ku dekap cinta, sayang, kasih dari hati mereka, tapi kini
lenyap seperti anai-anai yang diterbangkan api.
Tiba – tiba Indra menghampiriku. . .
“Aku biarkan kamu luapkan semua hari ini, tapi tidak untuk esok hari.” katanya
“Maksudmu?”
Dengan
agak membentak, ia menjawab, “Dekaplah penderitaan ini di dalam hatimu,
kemudian bangkit. Aku lelah melihatmu menangis setiap malam. Apa kamu
mau mempergelap terus langkah orang tuamu dan sahabatmu? Mana Cacha yang
aku kenal, mana Shaula Salsa Ramadhani yang selalu ceria, MANA CHA,
JAWAB!”
“Kamu
ga ngerti apa yang aku rasain, ga akan pernah ngerti ‘ndra. Allah ga
adil, Allah ga mengijabah doaku, ga mengabulkannnya, justru malah
membuatku kehilangan semuanya.”
Air mataku semakin mengalir deras, tapi kali ini perkataan Indra membuatku ingin berdamai dengan hati nuraniku.
“Seandainya
doamu belum dikabulkan, sesungguhnya Allah hanya menunggu saat yang
tepat untukmu, agar kamu terhindar dari kenistaan. Dan seandainya
permohonanmu dikabulkan, itu pun bukan karena doa dari bibirrmu,
melainkan nikmat Allah yang berlimpah kepadamu. Jangan pernah berhenti
berdoa, walaupun dirimu dalam bahagia maupun teraniaya. Disaat kamu
mengeluh karena tidak memiliki sepatu, lihatlah di luar sana banyak
saudara kita yang tidak punya kaki. Jangan pernah buang air matamu
dengan sia – sia, tapi jadikan air mata itu sebagai cambuk untuk
membuatmu bangkit.”
“Aku bukan manusia sekuat yang kamu pikir.”
“Setidaknya
kamu mau berusaha untuk mereka yang telah tiada, kita semua hanya
menunggu panggilan. Bangkitlah sahabat, aku mencintaimu dan aku tidak
ingin kamu terpuruk terus.”
“Apa aku bias bangkit dengan jiwa selemah ini, tak sempurna lagi?”
“Jadilah
seperti melati yang lembut dan suci, meski lemah tetapi tidak pernah
iri kepada mawar yang merah merekah, tidak pernah malu kepada bunga
matahari yang menjulang tinggi, dan tidak pernah dengki kepada anggrek
yang cantik rupawan. Tetap menjadilah seperti melati yang meski pun
lemah namun mampu menebar keharuman, lambang kesucian kehidupan, dan
dapat bermanfaat bagi semua orang yang masih bernyawa atau bahkan tidak
sekali pun.”
“Apa
aku belum terlambat meneruskan studi beasiswaku? Dan memimpin
perusahaan papa?” serta bermunajat kembali kepada Sang Khalik?”
“Tentu
tidak, aku akan membantumu. Ayo kita ke masjid untuk beriktikaf dan
bermuhasabah. Ini tahun pertama kamu merayakan ulang tahunmu dengan cara
berbeda.”
Setelah
kejadian malam itu, aku pun mulai bangkit perlahan. Dalam hatiku
berkata, semua akan indah kembali pada waktunya. Disaat kita terperosok
dalam lubang hitam, jadikan lah lubang itu sebagai suatu lorong
perjuangan dimana kita akan terus berjalan menyusuri lorong itu hingga
menemukan setitik cahaya yang nantinya akan menerangi langkahmu, menjadi
pelita dalam kebimbangan, hingga cahaya itu akan memberikan petunjuk
bahwa ada pelangi dalam selipan deraian air mata.
****
Pagi yang cerah membuat kakiku semakin mantap untuk melangkah meninggalkan Surabaya tercinta menuju Sidney, Australia. Dalam
keringnya ilalang aku memelas, di antara rontoknya daun kemuning aku
memohon, ketika aku gelap dan terhempas, mengiringi lenyapnya cahaya
surya di ufuk barat, ketika aku tersenyap dan tak seimbang, menghampiri
dunia yang limbung oleh bayangan. Tapi itu semua menjadikan asa tinggi
untukku meraih impian dan memegang amanah papa.
Indra dan ibunya mengantarkanku ke bandara, “Hati – hati ya ndok, jaga diri. Kalau sudah selesai, cepat pulang ya.”
“Enggih bu, mohon doanya saja. ‘ndra, makasi ya kamu udah mau mengulurkan tangan untuk mengangkat aku dari lubang itu.”
Dengan senyuman seraya berkata, “Bersyukurlah cha.”
“Alhamdulillah. Ya sudah, aku berangkat ya Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Butir
–butir kesedihanku terbawa angin. Langkahku mantap, dengan Allah
disisiku. Maafkan hamba Ya Rabb, pernah bersuudzan kepada takdir-Mu.
Bismillah, aku akan memulai hari baru.
****
Hidup tak
selalu berjalan mulus, butuh batu kerikil agar kita berhati – hati.
Butuh semak berduri agar kita waspada. Butuh air mata agar kita tau
merndahkan hati. Butuh cobaan agar dapat bersandar kepada Allah. Masalah
sebesar apapun akan terasa ringan bagi hati yang bersyukur, karena
bukan kebahagiaan yang membuat kita bersyukur, namun hati yang bersyukur
yang akan menjadikan kita bahagia.
Setelah
empat tahun aku berhasil menyelesaikan studiku. Dan memperoleh predikat
lulusan dengan IPK terbaik di salah satu perguruan tinggi ternama di
Sidney, Australia. Dimana ada kemauan, disitu ada jalan, dan kini aku
telah menempuh jalanku. Bermodal tekad dan keyakinan, serta doa kepada
Allah, aku berhasil mengukir prestasi gemilang.
“Papa,
Mama, Sherly, Indra, semuanya tersenyumlah. Aku berdiri di sini tepat
di bulan Ramadhan, membuktikan bahwa aku berhasil. Alhamdulillah, terima
kasih Ya Rabb, telah Kau bimbing hamba hingga menjadi seperti saat
ini.”
“Tidak
ada sesuatumusibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah;
dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi
petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
(Q.S. At-Tagabun : 11)
TAMAT
VERAWATI NUR OKTAVIA RAHAYU
G54110039
Tidak ada komentar:
Posting Komentar