Powered By Blogger

Kamis, 02 Februari 2012

Ramadhan untuk Sahabatku

Dunia hanyalah sebuah permainan, yang dimainkan jutaan pemeran, sebuah skenario agung dari khayangan, yang dibuat untuk sebuah perjalanan, diakhiri dengan kehancuran, yang menghasilkan siksaan, berbuah kebahagiaan, hanya ada dua pilihan dalam berjuta perjalanan, benci dan cinta hanyalah hiasan, sekedar warna dalam kehidupan, tertawa dan menangis adalah ujian, untuk mencapai sebuah kesempurnaan, pujian dan hinaan adalah rintangan, yang harus dihadapi dengan ketegaran, seolah melakukan pelarian, terperosok ke jurang perjuangan, namun hanya Allah yang menentukan, hingga dinobatkan para pemenang kehidupan.
                                                            ****
            Manusia memiliki kelemahan, aku adalah manusia yang hidup dengan segala kelemahanku. Apa yang terjadi kalau manusia tidak mempunyai kelemahan. Kelemahanku terkadang membawa kehancuran dalam diriku sendiri. Kelebihan ada juga dalam diri manusia, apakah kelebihan itu akan selalu membahagiakan? Oh tentu tidak, terkadang kelebihan itu melenakan. Aku hanya seonggok daging yang diberikan kehidupan oleh Allah. Aku hanya manusia yang bisa menjalani dan berusaha menggapai impian yang aku gantungkan, hari ini aku merasa terpuruk dengan segala kelemahanku. Dikala dawai tasbih dilantunkan, di hari Al-Qur’an diturunkan, membuat sesak ulu hatiku. Jantungku serasa berhenti berdetak, pengap serasa aku berada dalam ruang kosong sepi menantikan sebuah cahaya untukku. Malam ini lebih kurang satu tahun aku terpuruk dalam kesedihan itu.
            Namaku Shaula Salsa Ramadhani, orang menyapaku dengan nama Shaula, memanggil nama depan tidak asing terdengar di seluruh penjuru. Tapi tidak untuk mereka berdua, Indra dan Sherly. Ya, mereka adalah sahabat kecilku yang biasa menyapaku dengan nama cacha. Sahabat kecil yang amat aku kasihi melebihi diriku sendiri. Aku berasal dari sebuah keluarga berada, yang serba berkecukupan. Aku adalah pewaris tunggal orang tua ku. Papaku adalah seorang direktur perusahaan perkapalan “PT Pantja Pranidana Putra”, perusahaan persero terkemuka di kota Surabaya. Terlahir dari keluarga yang agamis, tidak membuatku tinggi hati dengan harta benda yang dimiliki keluargaku. Papa n mama selalu mengajarkanku untuk berbagi. Segala yang dimiliki hanyalah sebuah titipan illahi, yang tidak pantas kita banggakan karena hanya Allah Tuhan Yang Maha Kaya di jagad raya ini.
            17 Ramadhan 19 tahun silam, aku terlahir ke dunia ini. Berada di tengah – tengah keluarga yang menyayangiku. Sungguh indah bukan menjadi aku, tapi siapa yang akan menyangka kalau aku adalah orang yang sama sekali tidak bahagia. Sejak saat itu. . . . .
****
Hari ini, ketika sang raja siang bersahabat kepada semua insan karena menghangatkan jiwa. Aku sedang asyik memperhatikan bunga mawar di pinggir taman komplek tempat tinggalku. Saat ingin menyeberang, tiba – tiba. . . .
BRAAAAKK !!!
Seorang laki – laki yang kira – kira sebaya denganku menabrakku dengan sepedanya. Kemudian ia turun.
“Duh, maaf ya, rem saya tadi blong, kamu gak apa-apa.” katanya
“Iya ga apa-apa ko, aku juga kurang hati-hati.” Jawabku
“Iya, maaf ya.”
“Aku ga pernah lihat kamu sebelumnya, bukan orang komplek sini ya?”
“Iya, aku Indrawan Rangga Fadilah Syaputra, panggil aja Indra. Aku sekarang tinggal disini, di rumah yang ujung jalan sana.” katanya sambil menunjuk ke blok rumah Sherly.
“Ooohh, udah kenal sama Sherly? Sebelah kiri rumah kamu. Oh iya aku Shaula Salsa Ramadhani, panggil aja Shaula. Rumah ku di blok belakang rumah kamu”
“Udah ko, kebetulan kemarin dia yang nunjukkin rumah ketua RT ke ibuku. Ya udah sekarang aku mau bawa sepeda ku ke bengkel depan dulu ya, kapan – kapan kita sambung lagi.”
Sambil membawa mawar yang merah merekah, aku pun bertandang ke rumah Sherly. Dia sahabatku sejak kecil. Cantik, periang, dan humoris.
“Assalamu’alaikum. . Hai, orang cantik datang berkunjung, hehehehe”
“Wa’alaikumsalam, , Kamu Cha, dasar. Celanamu kenapa sobek begitu?”
“Oh, itu tadi ditabrak semut.”
Sherly menyernyitkan dahinya, “Cacha, serius dong.”
“Hahahaha, ketabrak sepeda tadi. Itu lho, tetangga baru kamu.” aku menoleh ke arah rumah Indra.
“Oh, Indra ta? Dia seumuran lho sama kita. Hayo, naksir pada pandangan pertama yaa?”
“Ih apa sih kamu ni, aku mau nawarin dia jd sahabat kita. Di komplek ini kan yang sebaya cuma kita bertiga.”
“Ide bagus tuh, boleh boleh.”
“Okee, udah ah aku pulang dulu yaa, nih mawarku buat kamu lagi. Cepet sembuh yaa. Assalamu’alaikum. . .”
“Wa’alaikumsalam neng cantik. Makasi yaa.”
Semenjak Sherly divonis mengidap leukemia, dia berubah. Tidak ceria, tidak periang, suka menyendiri, dan tidak bersemangat. Andai ada yang bisa mengembalikan sahabatku lagi seperti dulu, aku akan sangat senang sekali.
Aku, Indra, dan Sherly pun bersahabat. Kami saling menyayangi, dan hal ini memperlengkap kesempurnaan yang kumiliki.
****
Di suatu malam cerah, titik – titik kecil di langit menemani bulatan putih menambah keindahan alam jagad raya ini. Malam ini adalah pesta ulang tahunku, semua teman sekolah, keluarga besar, tak lupa Sherly dan Indra hadir ke rumahku. Malam ini malam bahagiaku, dimana usiaku genap 17 tahun. Kata orang, sweet seventeen adalah usia terindah dan wajib sekali dirayakan. Namun, bukan karena perayaan ini aku bahagia. Aku bahagia karena aku berada di tengah – tengah mereka yang mengasihiku.
Sambil memejamkan mata dan hatiku berkata, “Ya Allah, jangan pernah pisahkan aku dengan mereka semua. Aku sayang mereka, di usia ku ini pula aku berharap  agar Sherly dapat lepas dari penyakitnya.”
****
Keesokan harinya aku rekreasi dengan keluargaku, kelurga Sherly, dan keluarga Indra. Kami menikmati Wisata Bahari di daerah Lamongan. Setelah menghabiskan waktu seharian, kami pulang ke Surabaya.
“Kamu naik mobil Sherly aja ya, papa dan mama kan bawa barang banyak. Sekalian kamu menghibur Sherly, kepalanya mulai pening nak. Papa janji kami akan sampai rumah pukul 12 malam.” ujar papaku
“Oh iya, kalau kamu sampai duluan, kamu dirumah Indra aja ya. Papa dan Mama mungkin agak terlambat pulang. Jangan ngerepotin ibunya Indra ya, mama udah nitip kamu ko tadi. Love you my princess.” pesan mama
“Siap ratuku dan rajaku, hehehe.”
Aku bahagia sekali, “Ya Allah, sayangi papa dan mama selalu.” doaku
Tapi, bukan itu jawaban dari doaku. Ketika sampai di rumah Indra, aku mendapat kabar dari polisi bahwa orang tuaku mengalami kecelakaan dan nyawanya tidak tertolong. Bagaikan disambar petir, aku terpaku dan lalu tak sadarkan diri.
Ketika sadar, air mataku tumpah menyaksikan dua orang yang amat aku cintai terbujur kaku dibalut kain kafan ada di hadapanku. Aku tak sanggup, aku tak siap kehilangan mereka.
“Papa, Mama, bangun. Kalian ga boleh tidur terus, bangun. Papa dan mama janji kan, akan akan pulang jam 12, ini udah jam 1. Kalian harus bangun!”
“Ndok, sudah sudah, jangan gelapkan jalan orang tuamu dengan tangisanmu. Allah saying mereka, sudah ya. Masih ada ibu dan yang lain.” Ibu Indra menenangkanku.
Semenjak kepergian orang tuaku, aku tinggal di ruamah Indra. Ibunya amat menyayangiku, tapi trauma itu masih membayangiku. Aku berubah, seratus delapan puluh derajat. Aku setiap hari menyendiri sambil memegang foto orang tuaku. Nilai raportku menurun, dan bahkan aku nyaris tidak lulus ujian akhir.
****
“Mau ikut ke rumah sakit Cha? Tadi Sherly pingsan, dan dibawa ke rumah sakit oleh orang tuanya.”
“Iya, aku ikut ‘ndra. Tunggu bentar ya, aku mau ke taman. Mawar, aku mau bawain bunga mawar. Sherly pasti seneng banget ‘ndra.”
Setelah memetik mawar, Indra dan aku pun membeli karangan mawar pula untuk Sherly. Sesampainya di rumah sakit, orang tua Sherly diam tidak menyapa kami. Pasti mereka sedih karena anaknya kritis di ruang ICU.
Dokter keluar ruangan, dan berkata bahwa nyawa Sherly tidak dapat diselamatkan. Duh Ya Allah, berat cobaan-Mu. Setelah Kau ambil orang tuaku, saat luka ini mulai mongering Kau ambil lagi sahabat tercintaku. Dalam kurun waktu kurang dari setahun Kau ambil semua Ya Rabb.
****
            Berderailah air mataku kembali malam ini, di malam Nuzulul Qur’an hari dimana biasanya di rumahku ramai memanjaatkan doa sekaligus merayakan berkurangnya kontrak hidupku di dunia ini. Tapi kini semua telah tiada, sepi. Rasanya baru kemarin aku ucapkan cinta, baru saja sayang meluncur dari bibirku, sedetik lalu aku mencumbu kasih pada mereka, mereka berlalu dari wajahku, menghilang dari pikirku, padahal semenit lalu aku mendekap hati mereka, tak lepas erat ku pegang sanubari biru, rasanya lenyap tak berbekas, lepas….., menghilang terbang semua sayang, rasanya baru kemarin ku dekap cinta, sayang, kasih dari hati mereka, tapi kini lenyap seperti anai-anai yang diterbangkan api.
Tiba – tiba Indra menghampiriku. . .
            “Aku biarkan kamu luapkan semua hari ini, tapi tidak untuk esok hari.” katanya
            “Maksudmu?”
            Dengan agak membentak, ia menjawab, “Dekaplah penderitaan ini di dalam hatimu, kemudian bangkit. Aku lelah melihatmu menangis setiap malam. Apa kamu mau mempergelap terus langkah orang tuamu dan sahabatmu? Mana Cacha yang aku kenal, mana Shaula Salsa Ramadhani yang selalu ceria, MANA CHA, JAWAB!”
            “Kamu ga ngerti apa yang aku rasain, ga akan pernah ngerti ‘ndra. Allah ga adil, Allah ga mengijabah doaku, ga mengabulkannnya, justru malah membuatku kehilangan semuanya.”
            Air mataku semakin mengalir deras, tapi kali ini perkataan Indra membuatku ingin berdamai dengan hati nuraniku.
“Seandainya doamu belum dikabulkan, sesungguhnya Allah hanya menunggu saat yang tepat untukmu, agar kamu terhindar dari kenistaan. Dan seandainya permohonanmu dikabulkan, itu pun bukan karena doa dari bibirrmu, melainkan nikmat Allah yang berlimpah kepadamu. Jangan pernah berhenti berdoa, walaupun dirimu dalam bahagia maupun teraniaya. Disaat kamu mengeluh karena tidak memiliki sepatu, lihatlah di luar sana banyak saudara kita yang tidak punya kaki. Jangan pernah buang air matamu dengan sia – sia, tapi jadikan air mata itu sebagai cambuk untuk membuatmu bangkit.”
“Aku bukan manusia sekuat yang kamu pikir.”
“Setidaknya kamu mau berusaha untuk mereka yang telah tiada, kita semua hanya menunggu panggilan. Bangkitlah sahabat, aku mencintaimu dan aku tidak ingin kamu terpuruk terus.”
“Apa aku bias bangkit dengan jiwa selemah ini, tak sempurna lagi?”
            “Jadilah seperti melati yang lembut dan suci, meski lemah tetapi tidak pernah iri kepada mawar yang merah merekah, tidak pernah malu kepada bunga matahari yang menjulang tinggi, dan tidak pernah dengki kepada anggrek yang cantik rupawan. Tetap menjadilah seperti melati yang meski pun lemah namun mampu menebar keharuman, lambang kesucian kehidupan, dan dapat bermanfaat bagi semua orang yang masih bernyawa atau bahkan tidak sekali pun.”
            “Apa aku belum terlambat meneruskan studi beasiswaku? Dan memimpin perusahaan papa?” serta bermunajat kembali kepada Sang Khalik?”
            “Tentu tidak, aku akan membantumu. Ayo kita ke masjid untuk beriktikaf dan bermuhasabah. Ini tahun pertama kamu merayakan ulang tahunmu dengan cara berbeda.”
            Setelah kejadian malam itu, aku pun mulai bangkit perlahan. Dalam hatiku berkata, semua akan indah kembali pada waktunya. Disaat kita terperosok dalam lubang hitam, jadikan lah lubang itu sebagai suatu lorong perjuangan dimana kita akan terus berjalan menyusuri lorong itu hingga menemukan setitik cahaya yang nantinya akan menerangi langkahmu, menjadi pelita dalam kebimbangan, hingga cahaya itu akan memberikan petunjuk bahwa ada pelangi dalam selipan deraian air mata.
****
Pagi yang cerah membuat kakiku semakin mantap untuk melangkah meninggalkan Surabaya tercinta menuju Sidney, Australia.  Dalam keringnya ilalang aku memelas, di antara rontoknya daun kemuning aku memohon, ketika aku gelap dan terhempas, mengiringi lenyapnya cahaya surya di ufuk barat, ketika aku tersenyap dan tak seimbang, menghampiri dunia yang limbung oleh bayangan. Tapi itu semua menjadikan asa tinggi untukku meraih impian dan memegang amanah papa.
Indra dan ibunya mengantarkanku ke bandara, “Hati – hati ya ndok, jaga diri. Kalau sudah selesai, cepat pulang ya.”
“Enggih bu, mohon doanya saja. ‘ndra, makasi ya kamu udah mau mengulurkan tangan untuk mengangkat aku dari lubang itu.”
Dengan senyuman seraya berkata, “Bersyukurlah cha.”
“Alhamdulillah. Ya sudah, aku berangkat ya Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Butir –butir kesedihanku terbawa angin. Langkahku mantap, dengan Allah disisiku. Maafkan hamba Ya Rabb, pernah bersuudzan kepada takdir-Mu. Bismillah, aku akan memulai hari baru.
****
Hidup  tak selalu berjalan mulus, butuh batu kerikil agar kita berhati – hati. Butuh semak berduri agar kita waspada. Butuh air mata agar kita tau merndahkan hati. Butuh cobaan agar dapat bersandar kepada Allah. Masalah sebesar apapun akan terasa ringan bagi hati yang bersyukur, karena bukan kebahagiaan yang membuat kita bersyukur, namun hati yang bersyukur yang akan menjadikan kita bahagia.
Setelah empat tahun aku berhasil menyelesaikan studiku. Dan memperoleh predikat lulusan dengan IPK terbaik di salah satu perguruan tinggi ternama di Sidney, Australia. Dimana ada kemauan, disitu ada jalan, dan kini aku telah menempuh jalanku. Bermodal tekad dan keyakinan, serta doa kepada Allah, aku berhasil mengukir prestasi gemilang.
“Papa, Mama, Sherly, Indra, semuanya tersenyumlah. Aku berdiri di sini tepat di bulan Ramadhan, membuktikan bahwa aku berhasil. Alhamdulillah, terima kasih Ya Rabb, telah Kau bimbing hamba hingga menjadi seperti saat ini.”
 “Tidak ada sesuatumusibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. At-Tagabun : 11)
TAMAT
VERAWATI NUR OKTAVIA RAHAYU
G54110039

Tidak ada komentar: